Surakarta, 21 April 2025
Yang Terhormat, Bapak Prabowo Subianto Presiden Republik Indonesia
Dengan hormat,
Izinkan saya, Farid Umar Assegaf—seorang anak bangsa yang tak pernah lelah mencintai republik ini dengan caranya sendiri—menulis sepucuk surat yang lahir dari luka, namun ditulis dengan harapan.
Pada Rabu, 16 April 2025, saya bersama rekan-rekan dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mendatangi rumah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, di Solo. Tujuan kami satu: menyuarakan kebenaran dan menuntut klarifikasi publik atas dugaan kejanggalan ijazah akademik beliau—sebuah isu yang telah lama menjadi polemik dan menuntut transparansi demi menjaga integritas republik.
Namun, alih-alih disambut dengan dialog atau sekadar penghargaan atas hak konstitusional kami untuk menyampaikan pendapat, saya justru disambut dengan tangan-tangan kekerasan.
Waktu itu saya berjalan paling depan membawa megaphone. Begitu melihat saya, seorang pria yang saya kenal sebagai Silvester—yang dulu pernah tampil di televisi dengan retorika penuh makian saat berdebat—langsung mendekat dan menjambak saya. Ikat kepala saya ditarik paksa, dan saya diancam dengan kata-kata rasis serta gertakan yang mengancam nyawa: “Kau akan dibunuh dan mayatmu akan dibuang.”
Bapak Presiden yang saya hormati,
Apakah ini wajah demokrasi yang hendak Bapak rawat ke depan? Apakah ruang aspirasi rakyat harus dibayar dengan darah dan air mata? Saya tidak sedang mencari simpati—yang saya cari adalah keadilan. Karena luka ini bukan hanya milik Farid Umar Assegaf, tapi luka demokrasi. Luka konstitusi. Luka bangsa.
Saya tidak menuntut Bapak untuk berpihak. Saya hanya meminta keberpihakan Bapak kepada konstitusi, kepada hukum, kepada hak rakyat untuk menyampaikan pendapat tanpa intimidasi. Bukankah Bapak sendiri pernah berkata bahwa prajurit sejati melindungi rakyat, bukan membungkamnya?
Dengan ini saya memohon perhatian serius dari Bapak Presiden untuk:
– Menyuarakan secara terbuka kecaman terhadap praktik persekusi atas nama loyalitas politik.
– Memastikan aparat penegak hukum memproses peristiwa ini secara transparan dan adil.
– Mengingatkan seluruh elemen negara bahwa kritik terhadap mantan pejabat bukanlah makar, melainkan vitamin demokrasi.
Saya percaya, di tengah segala perbedaan dan turbulensi politik, masih ada harapan bagi Indonesia yang adil dan merdeka sepenuhnya. Namun harapan itu hanya akan hidup jika pemimpinnya berdiri di atas hukum, bukan bersembunyi di balik loyalitas buta atau barikade kekuasaan masa lalu.
Dengan menulis surat ini, saya tidak gentar. Saya justru lebih kuat. Karena saya tahu, suara rakyat yang paling tulus selalu lahir dari keberanian melawan ketakutan.
Demikian surat ini saya sampaikan sebagai suara nurani dan peringatan dini: jangan biarkan demokrasi Indonesia mati di halaman rumah seorang mantan presiden.
Hormat saya,
Farid Umar Assegaf
Aktivis 98 / Korban Persekusi Aksi Damai di Solo