Sebagai mukallaf awam tentang astronomi dan awam tentang fikih seputar tata cara syar’i dalam penetapan awal bulan yang disebut dengan istilah ru’yah hilal (jangan baca : ruqyah), saya tidak memenuhi syarat sama sekali untuk berpendapat apalagi membantah pandangan yang dikemukakan oleh orang atau lembaga atau ormas yang secara serius dan hati-hati melakukan observasi empirik dan mengumumkan hasil pengamatannya dengan pertanggungjawaban intelektual dan moral. Paling tidak, bagi awam seperti saya, bila tak menerima dan mengikuti hasil ru’yah sebuah lembaga, sebaiknya tak memberikan komentar serampangan.
Bila diperhatikan dengan seksama, selain kemenag, ormas NU dan Muhamadiyah, bahkan beberapa pesantren sejak lama telah membentuk lembaga independen yang membidangi penetapan atau Itsbat yang tak selalu sama dengan hasil itsbat Kemenag, sebagaimana terjadi.
Sebuah pesantren misalnya menetapkan Senin 12 April 2021 sebagai awal Ramadhan. Ormas Persis malah menetapkan Rabu sebagai 1 Ramadhan.
Dari fakta-fakta di atas dapat diambil beberapa poin kesimpulan sebagai berikut :
- Berbeda dengan keputusan pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal karena alasan intelektual dan saintifik bukanlah tindakan Inkonstitusional dan kriminal atau anti Pancasila dan NKRI.
Banyak orang mengira membela mati-matian negara berarti membela Pemerintah. Padahal membela negara sebagai state berarti menjaga properti bersama dari semua bahaya yang mengganggu keutuhan dan eksistensinya. Membela Negara dan menerima konstitusinya tak niscaya mendukung semua kebijakan dan keputusannya. Justru warga berhak menolak kebijakan-kebijakannya serta sebagian keputusan dan peraturannya yang dinilai salah atau tidak efesien atau tidak adil. Dengan kata lain, mendukung konstitusi berarti menerima Pancasila dan UUD 45, bukan harus menerima semua pasal undang-undang dan kebijakan Pemerintah. Pasal ayat dalam undang-undang boleh ditolak dan digugat melalui judicial review di MK atau diubah melalui amandemen di parlemen.
- Hasil itsbat ormas tidak harus dan tidak selalu sesuai dengan hasil istbat Kemenag. Dengan kata lain, bila berencana mengikuti keputusan Pemerintah tentang hasil ru’yah, mestinya tak mendirikan lembaga ru’yah dan hisab juga tak perlu sibuk mengutus dan menyebar tim pemantau hilal ke sejumlah titik pantau.
- Didirikanya lembaga (Tim Ru’yah) oleh Ormas ormas membuktikan bahwa masalah keabsahan ibadah dan agama bukan urusan negara, tapi semata-mata urusan prosedur yuriprudensi (syariah).
- Didirikanya lembaga (Tim Ru’yah) oleh Ormas ormas membuktikan independensi umat dan komunitas-komunitas di setiap ormas dalam penetapan awal bulan.
- Ormas-ormas mengemban amanat keagamaan untuk membimbing komunitas dan para anggotanya dalam melaksanakan ibadah. Karena itu, melakukan upaya itsbat
dengan ru’yah atau hisab dan mengumumkan hasilnya dengan dipertanggung jawabkan secara ilmiah. - Mengikuti hasil ru’yah pihak manapun yang diyakini jujur (adil) dan kompenten, diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Akhirnya dapat dimengerti :
- Tidak mengikuti arahan Pemerintah dalam hal ini bukanlah makar dan bukanlah melawan Negara.
- Beban orang awan lebih ringan dalam masalah isbat dengan mengikuti yang dipastikan jujur dan kompeten seraya tetap berhati-hati.
ML152022