Tak pernah terlintas di benak saya sebelumnya bayangan mengupas tema cium tangan. Namun setelah memperhatikan polemik terkait video orang tua yang kebetulan seorang habib yang disegani di lingkungannya mencium pemuda yang dikenal cucu seorang kyai terkemuka sambil merokok, saya terdorong untuk memberikan perspektif tentang tema tak fundamental ini.
Perspektif Budaya
Cium tangan diawali oleh orang yang menerima salam, kemudian tangannya dipegang oleh orang tersebut, dan telapak tangannya menghadap ke bawah; atau diawali dengan orang yang memberikan salam, kemudian ia mengulurkan tangannya, dan tangan tersebut diterima dengan cara digenggam oleh orang yang ia beri salam. Tangan kadang dicium dengan hidung sebagaimana di Hadramaut dan di Indonesia, dan kadang dengan bibir atau dikecup seperti dalam masyarakat aristokrat Eropa. Sekarang malah cium tangan hanya ditempelkan di pipi. Di era pandemi cium tangan tentu dianjurkan untuk tidak dilakukan sebagai bagian dari prosedur protokol kesehatan.
Di Turki, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina, cium tangan adalah cara yang umum untuk memberi salam atau menyapa orang-orang yang lebih tua, terutama kerabat terdekat (kedua orang tua, kakek-nenek, dan paman atau bibi) dan guru. Di Indonesia, cium tangan yang dilakukan kepada orang tua atau guru dapat disebut sebagai salim. Kadang-kadang, setelah mencium tangan, penyium tangan akan menarik tangan ke dahinya mereka sendiri.
Cium tangan digunakan di dalam film The Godfather, sebagai cara untuk menunjukkan seseorang adalah Don. Cium tangan juga ditampilkan di film, seperti Dangerous Liaisons. Sebagaimana diketahui, Sisilia di Italia dan beberapa wilayah Eropa seperti Malta dan Spanyol terutama Granada yang terhubung secara geografis dengan kawasan Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara dipengaruhi oleh budaya juga etnis Arab.
Di kalangan Islam mainstream di Indonesia yang direpresentasi oleh masyarakat NU cium tangan merupakan salah satu etika umum antara santri dan guru atau kyai juga menjadi parameter kesopanan serta relijusitas dalam masyarakat umum.
Sangat mungkin budaya ini berasal dari para pendakwah dari keturunan Nabi yang datang dari Hadramaut. Hierarki dalam keluarga besar alawiyin kerap ditandai dengan pola interaksi khusus, termasuk cium tangan. Para pengiman kemuliaan posisi alwiyin sebagai keturunan Nabi yang lazim disebut muhibbin lazim mengekspresikan preferensi dengan cium tangan tanpa membedakan usia tua atau muda, agamawan atau awam, bahkan berperilaku baik atau berperilaku buruk. Biasanya cium tangan dianggap sebagai bukti kemuhibbinan seseorang dan penghormatannya kepada dzuriyah. Tapi tradisi cium tangan dzuriyah kini tidak selazim dahulu. Mungkin karena banyak figur habib yang gagal mencerminkan keteladanan atau mungkin karena dianggap sebagai bagian dari feodalisme oleh sebagian orang yang berpikir modern dan kritis.
Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah etnis Arya dan bermazhab Syiah cium tangan bukan tradisi umum masyarakat, termasuk dalam keluarga kecuali saat awam menjabat tangan figur rohaniawan terkemuka. Di Iran cium dahi justru lebih lazim dilakukan sebagai ekspresi penghormatan dan sayang seseorang kepada anak, isteri dan sahabat karib. Tidak ada ketentuan khusus cium tangan sayyid di sana. Sedangkan saling cium pipi atau saling mendekap atau menempelkan dada berlaku lebih umum di dunia termasuk dalam masyarakat Arab dan Eropa.
Perspektif Agama
Nampaknya ada perbedaan pandangan tentang hukum mencium tangan di kalangan para ulama Islam. Namun, secara umum Ahlussunnah dan Syiah tidak melarang secara mutlak juga tak memperbolehkannya secara total.
Literatur Sunni
Dibolehkan mencium tangan orang tua, orang-orang saleh dan ulama dari orang-orang agama, pengetahuan dan kebajikan. Diriwayatksn oleh Uamah bin Syareek, dia berkata: dia, dan kami mencium tangannya.”
Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Al-Maqri di bagian “Mencium Tangan” (hlm. 58), dan Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan sanadnya kuat. Lihat: Fath al-Bari (11/57), dan dia menyebutkan sejumlah hadits dan menggambarkannya sebagai rantai sanad yang baik.
Al-Bayhaqi meriwayatkan dalam “Al-Sunan Al-Kubra” (7/101) dengan sanad riwayat Tamim bin Salamah, yang berkata: “Ketika Umar, datang ke Syam, Abu Ubaydah mencium tangannya. Dia berkata: Tamim berkata: Mencium tangan adalah sunnah.
Al-Nawawi dalam Al Adzkar berkata: Mencium tangan seorang pria karena kezuhudan, kebenaran, dan pengetahuan, tidak dilarang bahkan dianjurkan, namum dimakruhkan mencium tangan orang karena kekayaan atau kekuasaannya.
Al-Zayla’i berkata: Mencium tangan seorang ulama, atau tangan seorang penguasa yang adil adalah sunnah, aku berkata: Mencium tangan orang tua juga diperbolehkan. sudah selesai. Adapun mencium muka hukumnya makruh, kecuali orang yang datang dari perjalanan dan sejenisnya, hal ini dinyatakan oleh para ahli ilmu.
Demikian pula pendapat Malik bin Anas sebagaimana disebutkan dalam Al Maunah ala Madzhab Alim Madinah karya Al Qadhi Abd al-Wahhab, hal 1702; Syarh Shahih Al Bukhari karya Ibn Batthal , vol.9, p.45; Fath al-Bari karya Ibn Hajar, vol.11, hal.56. Al-Risalah Al-Qayrawani, hal 161; Al Maunah
Literatur Syiah
Menurut sebagian fuqaha Syiah, melarang mencium tangan manusia. Diriwayatkan dari Ali bin Musa al-Ridha, AS bahwa dia berkata: “Siapapun tidak boleh mencium tangan seorang, karena ciuman tangannya seperti bersujud kepadanya .” [Tuhaf al-Uqul riwayat Ibn Syu’bah al-Harani, hal. 450]
Sebagian lain hanya memperbolehkan mencium tangan Nabi dan Imam suci dengan alasan bahwa mencium tangan merupakan ekspresi ketundukan dan keberserahan yang hanya patut dialamatkan Allah yang diwakili oleh nabi dan imam. Diriwayatkan bahwa Ali bin Mazid berkisah, “suatu hari saya menemui Abu Abdillah (Imam Ja’far) di rumahnya lalu kuambil tangannya dan kuciumnya. Beliau berkata, “Tidak patut dilakukan kecuali terhadap seorang nabi atau washi (pelanjut) nabi.” [Al Kafi karya Al Kulayni, vol 2, hal. 185].
Namum sebagian fuqaha memperbolehkan mencium tangan alim yang dikenal wara’ dengan tujuan penghormatan.
Terlepas dari perbedaan pendapat dan sikap tentang penting dan tidak pentingnya cium tangan dalam interaksi hierarkis, yang terpenting adalah mutual respect dengan tetap menjadikan perilaku baik dan kesalehan sebagai parameter preferensi.
Soal orang lebih tua mencium tangan orang yang lebih muda atau habib mencium non habib, yang pasti, tidak diharamkan selama dilakukan dengan sukarela dan tidak menjatuhkan martabatnya juga tidak membuat yang dicium tangannya pongah. Secara lahir, dalam adegan video yang viral itu kita layak mengedepankan sangka baik. Credit point bagi habib sepuh itu karena dengan kerendahan hatinya menjungkirbalikkan mindset negatif banyak pihak yang mencak mencak bahkan mengeneralisasi semua habib sebagai orang-orang gila hormat karena melihat adegan video habib gondrong yang dicium tangan dan lututnya oleh beberapa remaja beberapa waktu lalu.
ML 2452022