Ilmu apapun, termasuk ilmu agama, bukanlah hasil karya orisinal guru dan agamawan yang hanya meneruskan dan menyampaikan ide dan info yang diperolehnya dari orang lain yang juga memperolehnya dari lain dan begitulah seterusnya. Lebih dari itu, ajaran agama, bila memang valid dan benar, merupakan ilmu dari Allah dalam rangkaian mata rantai suci Nabi dan para penerusnya. Dia tak lebih dari distributor yang layak dihormati secara proporsional.
Kini banyak lembaga ilmu pendidikan agama. Ada lembaga yang resmi dengan sistem yang diterapkan melalui peraturan-peraturan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Ada pula lembaga pendidikan informal seperti majelis-majelis dan lainnya.
Ilmu agama bukanlah alat kuasa dan bukan pula penghapus hak pilih serta independensi orang yang mengais ilmu di dalamnya. Ia bukanlah komoditas. Setiap orang punya hak memilih ilmu yang dianggapnya penting.
Ilmu apapun, terutama ilmu agama yang diajarkan melalui ceramah atau pengajaran atau lainnya bukanlah alat pelenyap independensi murid atau jamaah dan tidak bisa menjadi pengikatnya seumur hidup.
Ustadz, muallim, kyai, ajengan di pesantren,masjid, langgar dan pengasuh majelis taklim bukanlah majikan dan penguasa absolut
Audien, murid, santri dan jamaah bukanlah hamba sahaya dan jelata yang diperlakukan sebagai hewan piaraan. Setiap orang berhak memilih narasumber, pembimbing dan konsultannya. Ia bukan nabi mini dan bukan imam tambahan. Keikhlasan seorang alim, mubalig dan ustadz diukur dari sikap low profile-nya dan kerendahan hati membiarkan setiap orang memilih ilmu agama.
Jamaah atau audien tidak patut menjadikan kebebasan individualnya sebagai tebusan bagi info ajaran yang diceramahkan dan diajarkan kepadanya. Ajaran agama yang benar justru memerdekakan audien dari keterkungkungan dan beban pemujaan personal. Kedaulatan intelektual lebih mahal dari sekadar ceramah, nasihat dan perhatian seorang agamawan yang secara kehambaan setara dengan umat. Tak jarang umat justru lebih saleh dari yang bertengger di mimbar.
Murid, santri dan jamaah hanya boleh terikat oleh sistem nilai, norma dan peraturan, bukan terikat dengan figur yang bisa berubah dalam segala dimensi kehidupannya selama dia bukan Nabi dan manusia suci yang bisa dianggap sebagai guru dalam arti hakiki.
Ancaman kualat, ilmu tak bermanfaat atau dosa durhaka bila tak mematuhi semua keinginan guru kerap kali jadi senjata ampuh memperbudak dan menyandera murid oleh para penjahat bercawat agama bahkan terhadap sejenis. Sayangnya, fenomena umum ini justru dirawat, ditutupi dan dijustifikasi dengan narasi agama.
Pemerkosaan di Bandung yang terungkap beberap lalu dan kasus pencabulan berkedok wawancara para santriwati di Jombang yang viral belakangan ini dapat dianggap sebagai fenomena perbudakan berkedok pendidikan agama. Ia bukan pemerkosaan biasa yang dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan yang biasanya terjadi sesaat tapi kejahatan seksual luar biasa karena dilakukan selama tiga tahun hingga sebagian hamil dan melahirkan oleh pengasuh pesantren dan guru agama. Ia lebih pantas dianggap sebagai perbudakan dengan tipu rayu serta intimidasi dan brain washing dengan justifikasi narasi agama berupa ancaman durhaka bila tak patuh. Ini adalah eksploitasi posisi guru agama yang dianggap wakil Tuhan dan eksploitasi murid dan perempuan yang didoktrin untuk patuh dan pasrah karena dirampas kesadaran dan kebebasan individualnya hingga terkesan rela diperkosa.
Allah sudah memperingatkan kita agar tidak mengkultuskan agamawan. “Mereka menjadikan rabi-rabi mereka, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (At-Taubah : 31)
ML 1322022