Nov 26, 2024
spot_img

ANIES BASWEDAN

 

Oleh: Abdillah Toha

Tulisan ini jangan dibaca sebagai dukungan politik saya kepada Anies Baswedan. Saya belum mengambil keputusan siapa yang akan saya pilih dalam pemilu presiden 2024 mendatang. Saya masih akan terus meneliti, baik dari sisi karakter calon presiden maupun program-program yang ditawarkan. Lagi pula, pada saat menulis ini, meski sudah ada perkiraan siapa saja yang akan maju sebagai capres nanti, tetap saja belum ada sesuatu yang pasti.

Belakangan ini foto-foto dan clip video Anies banyak muncul di media elektronik ketika dia mantu anak putrinya semata wayang yang dihadiri berbagai lapisan masyarakat. Dalam salah satu sesi resepsi perkawinan itu, tampaknya ada satu sesi khusus bagi pejabat dan elit politik. Hampir seluruh elit Jakarta dari presiden sampai menteri-menterinya dan seluruh pimpinan partai politik terlihat hadir disitu kecuali ketua umum PDIP.

Ketika berdasarkan hasil berbagai survei sejauh ini Anies masuk sebagai satu dari tiga bakal capres yang berpeluang tertinggi, maka liputan itu bukan lagi sekadar tentang resepsi pernikahan tapi menjelma menjadi sebuah show politik yang mempertontonkan tidak ada partai yang mau ketinggalan di mata Anies sebagai partai yang tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai calon presiden.

Mantan rektor Universitas Paramadina ini, penerima sederet penghargaan nasional dan internasional atas kiprahnya di bidang sosial dan pendidikan (Gerakan Indonesia Mengajar dan lainnya), adalah profesional independen non partai pertama yang akan jadi presiden RI bila terpilih, meski presiden kita sekarang, Jokowi, disebut juga sebagai “orang luar” partai PDIP.

Anies juga pegiat gerakan pemerintahan yang bersih. Di Universitas Paramadina dia mengenalkan mata pelajaran baru tentang teori dan praktik korupsi. Pada masa pemerintahan SBY, ketika KPK belum disunat
seperti sekarang, Anies beberapa kali ditugaskan memperkuat KPK dalam berbagai tim seperti tim pencari fakta kasus konflik antara kepolisian dan KPK yang dikenal sebagai kasus Cicak Buaya, dan ketua komite etik dibawah Abraham Samad.

Dengan modal pendidikan tinggi dan gelar PhD dalam ilmu politik dari Nothern Illinois Unversity, Amerika, Anies diakui sebagai pembicara yang lancar dengan kemampuan tinggi dalam komunikasi publik. Ini adalah kelebihan dan sekaligus di mata penolaknya adalah kelemahannya karena Anies, beda dengan Jokowi yang lemah dalam komunikasi verbal, adalah pekerja, sedang prestasi Anies sebagai gubernur DKI dianggap oleh musuhnya tidak sebanding dengan retorikanya.

Dalam kontestasi demokrasi memilih calon pemimpin, ada pendukung, pencinta, penolak, dan pembenci. Apa bedanya? Pendukung dan penolak, dan mudah-mudahan ini yang terbanyak, adalah para pemilih rasional yang mendasarkan keputusannya atas prestasi yang terukur dan perilaku calon. Sebaliknya, pencinta dan pembenci adalah mereka yang berkaca mata kuda yang tidak mampu melihat sang calon di luar persepsi sempitnya. Oleh pecinta semuanya dianggap baik atau semuanya buruk di mata pembencinya. Bukan akal sehat yang digunakan tetapi emosi sebagai penentu pilihannya. Inilah salah satu kelemahan berdemokrasi dan penyebab polarisasi dan perpecahan bangsa.

Kita semua masih ingat bahwa pilkada DKI 2017 antara petahana Ahok-Djarot lawan Anies- Sandiaga Uno, adala pemilu yang sangat panas dan membelah pemilih secara emosional. Berbagai isu agama dan identitas muncul dan mencapai puncaknya pada dijebloskannya Ahok kedalam bui secara tidak adil. Panasnya pilkada ini berlanjut sampai pada pilpres 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Perpecahan konstituen atas dasar identitas dan SARA ini rasanya masih berlanjut terus sampai sekarang, meski sudah agak mereda.

Oleh para pembenci Anies, semua kesalahan dibebankan kepadanya karena sebagian pendukungnya dikatakan ada di kelompok Islam garis keras seperti FPI, HTI, dan sejenisnya. Padahal di putaran pertama Anies dikalahkan oleh petahana dan baru pada putaran kedua, ketika partai2 pendukung AHY yang tersingkirkan di putaran pertama, Demokrat (netral?), PAN, dan PPP, mengalihkan dukungannya ke Anies-Uno, dia akhirnya menang.

Apa artinya itu? Artinya, pertama, suara kelompok keras pendukung Anies tidak cukup besar untuk bisa memenangkan Anies langsung pada putaran pertama. Kelompok garis keras ini suaranya lebih vokal dari kekuatan politiknya. Kedua, suara kelompok gaduh yang tidak menentukan itu terbukti sekali lagi dengan kekalahan Prabowo yang juga didukung oleh kelompok yang sama dalam pilpres 2019.

Ketiga, salah satu kelemahan demokrasi liberal adalah kenyataan bahwa satu suara preman sama nilainya dengan satu suara profesor. Satu suara setan sama nilainya dengan satu suara malaikat. Anies oleh pembencinya dituduh oportunis dan merekayasa dukungan kelompok garis keras Muslim. Saya lebih percaya bahwa dukungan kelompok itu adalah prakarsa kelompok garis keras itu sendiri yang lebih bertujuan menghalangi Ahok jadi Gubernur terpilih daripada mendukung Anies. Andaikata kelompok penggaduh berprakarsa mendukung pasangan Ahok Djarot, apa kira2 pasangan cagub itu akan menolaknya? Politisi itu kerjanya mencari dukungan suara. Khususnya menjelang dan dalam pemilu. Karenanya, sulit untuk tidak mengkategorikan setiap politisi sebagai oportunis.

Yang sangat disayangkan, begitu kerasnya kecaman pembenci Anies sampai merambah pada rasisme. Anies di arab-arabkan atau di yaman-yamankan. Bahkan sampai ada yang mencaci maki dengan bahasa yang jorok dan kejam, ingin mengusir Anies dari negeri dimana dia dan kakek-kakeknya dilahirkan dan dibesarkan. Mirip dengan kecaman terhadap Jokowi ketika maju dalam pemilihan presiden, Jokowi dikecam berlatar belakang PKI.

Ada dua hal yang saya kagumi pada sikap Anies dalam menghadapi berbagai kecaman tidak adil itu. Pertama, sama seperti sikap presiden Jokowi, dia sama sekali tidak menggubris atau melayani kecaman tidak senonoh yang menjurus ke fitnah, tetapi membiarkannya dengan sabar. Kedua, Anies tidak pernah malu dan berupaya menutupi latar belakang etnis serta budaya peranakan Hadramautnya. Semuanya dibuat terbuka tanpa ada rasa rendah diri.

Rasisme memang bukan hanya ada di sebagian warga Indonesia. Di hampir seluruh bagian dunia terdapat sikap rasis. Bedanya dengan kita, di banyak negeri-negeri itu ancaman hukuman menghadang sikap rasis. Sebagai contoh, iklan mencari pekerja dengan syarat harus dari ras tertentu atau pemeluk agama tertentu atau gender tertentu bisa berakibat gugatan di pengadilan.

Bumi ini adalah milik kita bersama, dari manapun asal kita. Karenanya hukum kita telah menghapus istilah pribumi dan non-pribumi. Kita harus mulai belajar dari negeri2 yang sudah lebih matang demokrasinya. Saat ini jabatan tertinggi kedua di Amerika untuk pertama kalinya diisi oleh perempuan dan keturunan India. Jabatan tertinggi di Inggris diperkirakan tidak lama lagi juga akan diduduki oleh warga negara Inggris keturunan India. Bahkan kedua orang keturunan India itu adalah warga negara generasi pertama dari orang tua imigran. Beda dengan Anies yang telah turun temurun berada di negeri ini.

Maka seyogyanyalah dalam menentukan pilihan pimpinan kita mendatang, kita harus mampu bersikap rasional dengan menilai kemampuan calon, program yang ditawarkan, serta prestasinya selama ini, dan membuang jauh-jauh sentimen-sentimen pribadi yang hanya akan menjerumuskan negeri ke dalam lumpur kehancuran.

Sebagai penutup saya ingin menyarankan kepada saudara kita Ganjar Pranowo, juga salah satu kandidat yang punya peluang besar untuk terpilih menjadi presiden RI mendatang, agar jauh-jauh hari sudah berani menyatakan sebagai calon independen yang terbuka bagi partai manapun yang bersedia mencalonkannya. Dengan demikian dia tidak akan terjebak dan terjerat lehernya oleh partai yang hanya akan menjadikannya sebagai petugas partai.

AT-31072022

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

sakarya bayan escort escort adapazarı odunpazarı escort