Oleh: Haidar Bagir
Ada kecenderungan, bahkan pada sebagian pengamat dan pengkaji mazhab-mazhab, untuk mengontraskan mazhab Sunnah dengan mazhab Syiah, dan sebaliknya. Seolah-olah keberadaan mazhab-mazhab itu harus didukung oleh perbedaan-perbedaan yang tajam – yang tanpa itu keberadaan mazhab-mazhab itu menjadi tidak meyakinkan. Padahal, dalam makna literal-aslinya, istilah mazhab dalam dalam bahasa Arab (madz-hab) bermakna “jalan”, atau jalur dalam perjalanan seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Jalan memang bisa berbeda-beda, tapi tujuan bisa saja sama. Tapi, bahkan ketika jalan-jalan itu bersilangan, kesemuanya itu saling melengkapi satu sama lain. Bukan menyesatkan. Kalau ada yang tersesat, maka itu bukan karena keberadaan banyak jalan itu melainkan karena ketidaktahuan pejalan tentang jalan-jalan tersebut.
Karena itu, sebetulnya bagus saja untuk melihat keunikan kontribusi mazhab-mazhab dalam Islam, khususnya Sunnah-Syiah, seperti dilakukan sebagian ahli. Misal, Fritchof Schuon, dan sebagian ahli dalam pemikiran sufistik yang sejalan dengannya, mencirikan Syiahisme sebagai esoterisme (faham kesalehan batin) Islam, sedang Sunnisme sebagai eksoterisme (faham kesalehan-lahir) Islam. Atau ada juga yang menyebut Sunnisme sebagai menekankan tradisionalisme (ketaatan pada teks Qur’an dan Hadis, secara ta’abbudi) sementara Syiah dianggap sebagai lebih rasionalistik (menekankan pada peran akal/rasio dalam memahami teks, yakni secara ta’aqquli).
Sejalan dengan itu, kalam (teologi) Syiah juga disebut-sebut lebih rasionalistik, dan dekat dengan Mu’tazilah dalam menekankan kehendak/karsa bebas, sedang dalam Sunnisme lebih dekat kepada faham jabari (predeterminisne). (Lihat sebagai contoh buku karya Abubakar Aceh, yang terbit di tahun 60-an tentang Syiah, yang diberi judul: “Syiah: Rasionalisme dalam Islam”). Lazim pula orang mengatakan bahwa dalam Syiah perkembangan filsafat tak pernah mandek, sedang dalam Sunnisme berhenti sejak masa Imam Ghazali, setelah berujung pada Ibn Rusyd). Pernyataan- pernyataan ini seolah-seolah bisa segera diterima sebagai benar. Tapi, menurut saya, kesemuanya itu perlu dikritisi. Saya akan tunjukkan, bahwa dalam semua penilaian di atas, perbedaan kedua mazhab tidaklah terutama dalam substansi-substansi yang terkait dengan isu-isu tersebut di atas, melainkan lebih pada pendekatan – pendekatan di dalam membahas/memahami isu-isu itu sendiri.
Mari kita lihat satu per satu. Benarkah bahwa Syiahisme identik dengan esoterisme sementara Sunnisme dengan eksoterisme? Menurut pemahaman saya, sufisme sama-sama ditekankan dalam kedua mazhab besar ini. Tasawuf dalam sufisme, sama sekali tak kurang mendapatkan tempat dalam Sunnisme, ketimbang dalam Syiahisme. Kita sama sekali tak bisa mengatakan bahwa jumlah tokoh sufi besar dalam Sunnisme lebih sedikit atau kurang dominan dibanding dalam Syiahisme. Bukan hanya itu, bahkan di antara kaum sufi yang paling berpengaruh dalam Syiahisme sesungguhnya bermazhab Sunni. Ambil saja ibn ‘Arabi (meski bukan tak ada orang di kalangan Syiah yang berupaya membuktikan bahwa ibn’ Arabi adalah Syiah. Tapi, menurut saya, upaya ini sama sekali tak meyakinkan). Termasuk juga murid-muridnya. Juga Suhrawardi Maqtul, yang dicatat sebagai bermazhab Sunni. Jalaluddin Rumi pun adalah seorang Sunni. Masih ada Sadr al-Din al-Qunawi, Hafiz, Jami, Fakhruddin ‘Iraqi, Khwaja Abdullah Anshari, Ruzbihan Baqli, dan banyak lagi. Mereka semua Sunni, tapi menjadi tokoh-tokoh pembentuk dalam tasawuf Syii. Orang kemudian akan mengatakan bahwa tasawuf dalam Syiahisme lebih mengambil bentuk tasawuf filosofis (‘irfan), sedang dalam Sunnisme tasawufnya bersifat sunni/trafisional dan akhlaqi. Bisa jadi pernyataan ini mengandung kebenaran. Tapi, pada kenyataannya tak sedikit sufi Sunni yang pemikirannya bersifat filosofis – (seperti Bayazid Busthami, al-Hallaj, dan lain-lain). Lebih dari itu, seperti telah disinggung di atas, pada puncaknya, pengaruh terbesar atas perkembangan tasawuf Syii yang bersifat’ irfani ini juga bersumber pada pemikiran kaum Sufi Sunni.
Demikian pula dalam filsafat. Pernyataan yang secara generalistik menyebutkan bahwa filsafat dalam Sunni mandek setelah masa al-Ghazali sedang dalam Syii berjalan terus, tak bisa sepenuhnya dibenarkan. Pertama, seperti dituliskan Sayed Husein Nasr – kebetulan saya pun pernah melakukan penelitian khusus tentang topik ini – dalam ejarah Syiahisme pun filsafat – juga ‘irfan, sesungguhnya – hampir selalu didiskreditkan. Hingga pernah silsilah pengajaran/transmisi filsafat di kalangan Syi’ah hanya bertumpu pada satu orang filosof saja. Yang, jika tak ada filosof itu, perkembangan filsafat di kalangan Syiah pun akan terhenti alias mandek. Sedang di kalangan Sunni, peneliti yang cermat akan melihat bahwa Imam Ghazali bukanlah sama sekali anti filsafat. Filsafat yang dikritiknya adalah neo-Platonisme Islam sebagaimana dikembangkann oleh Ibn Sina dan para filosof Muslim sebelumnya. Tapi, sulit orang tak melihat pentingnya filsafat dalam keseluruhan pemikirannya. Setelah Ghazali pun masih ada Fakhruddin al-Razi, Syah Waliyullah Dihlawi, Syaikh Sayid Ahmad Sirhindi, Dara Shikoh, dan banyak lagi, hingga ke zaman modern sekarang ini. Di kalangan Syiah belakangan memang studi filsafat tampak amat berkembang, tapi hal ini sesungguhnya lebih merupakan jasa Imam Khomeini, para guru-gurunya sebelumnya, serta para muridnya, yang mengembalikan pemikiran filsafat dalam tempatnya yang mulia di tengah-tengah kancah keilmuan Islam. sebelumnya, serta para muridnya, yang mengembalikan pemikiran filsafat dalam tempatnya yang mulia di tengah-tengah kancah keilmuan Islam.
12092022