Sejumlah cendekiawan muslim dari berbagai negara yang difasilitasi KAHMI Nasional dan Universal Justice Network di Jakarta, Minggu (4/5/2014), menghasilkan 10 poin Deklarasi Jakarta. Deklarasi tentang moderasi Islam itu berisi kesepakatan untuk menjaga kesatuan umat Islam di seluruh dunia.
Pada pertemuan itu mengundang banyak cendekiawan baik dari Sunni maupun Syi’ah dan 10 poin Deklarasi Jakarta sejalan dengan Piagam Amman tentang penghormatan kepada seluruh mazhab yang ada dalam Islam dan tidak boleh saling mengkafirkan.
Deklarasi Jakarta dibacakan oleh Ketua Dewan Pakar KAHMI Laode Kamaludin dan musafir dan cendekiawan muslim dari Washington Imam Muh Al Asi. Deklarasi itu lalu ditandatangani hampir semua yang hadir.
Hadir dalam Pertemuan tersebut antara lain Presidium KAHMI Anies Baswedan, Citizen Internasional Dr Muhideen Abdul Kadir, AM Fatwa, Saleh Khalid, Ketua DPP Partai NasDem Kurtubi, Sekjen KAHMI Subandrio, Haidar Bagir, Hermansyah, Husain Heriyanto.
Para cendekiawan dalam pertemuan itu dengan tegas mengutuk berkembangnya virus kebencian sektarian dan konflik internal di dalam umat Islam yang telah menelan banyak korban tak berdosa di banyak belahan dunia, khususnya di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti di Asia Selatan dan Barat.
Anies Baswedan sebagai Presidium KAHMI menjelaskan bahwa Syi’ah telah ada sejak Islam masuk ke Indonesia. Yang mesti kita pertanyakan mengapa tindakan kekerasan kepada Syi’ah baru terjadi akhir-akhir ini bukan setahun yang lalu, bukan sepuluh tahun atau seratus tahun yang lalu. Disinilah kita akan menemukan jawaban yang lebih mendekati kebenaran ketimbang membahas perbedaan teologi.
“Kami memahami virus kebencian sedang menyebar ke negeri-negeri Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Karena itu, kami, para cendekiawan muslim, sepakat kepada poin-poin dalam deklarasi ini untuk menghadapi dan menghapuskan virus kebencian sektarian dan meluasnya konflik internal di dalam umat Islam,” tutur Laode Kamaluddin.
Sepuluh poin Deklarasi Jakarta berisi pernyataan bahwa pembunuhan terhadap sesama manusia berdasarkan warna kulit, keyakinan, etnis, dan agama adalah haram dan bertentangan dengan syariah, mendukung definisi muslim sesuai dengan deklarasi “Pesan Amman”, perbedaan di internal umat tidak boleh berujung pada pernyataan ‘kafir’ dan ‘sesat’ terhadap sesama muslim, dan jika itu yang terjadi, perbuatan itu dianggap haram dan bertentangan dengan syariah.
Poin lainnya berisi pernyataan semua perbedaan di antara muslim harus diselesaikan dengan dialog dan konsensus seraya tetap menjaga kehormatan satu sama lain, aktif bersama-sama membangun dan menjaga hubungan di antara mazhab serta organisasi Islam yang berbeda dan menghadiri kegiatan satu sama lain sebagai cara membangun, menjaga, dan mengembangkan persaudaraan, mempromosikan dan menjaga harmoni di antara semua kelompok muslim melalui media cetak, elektronik, dan media sosial.
Deklarasi Jakarta juga merekomendasikan agar sekolah-sekolah mengembangkan silabus dan kurikulum yang mendorong perdamaian, persaudaraan, serta persatuan di antara semua anggota masyarakat muslim, mendesak pemerintah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan undang-undang yang memerangi ujaran kebencian dan mendorong pemidanaan yang lebih efektif terhadap pelanggaran atas undang-undang tersebut, menyadari konflik sektarian adalah jebakan yang bertujuan untuk melemahkan umat Islam, dan kami harus mencerahkan umat tentang jebakan itu. Serta akan aktif memediasi semua kelompok muslim yang berselisih agar bisa melakukan rekonsiliasi.
Dari banyak yang hadir, ada beberapa yang tidak bersedia ikut menandatangani deklarasi. Di antaranya ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Misbahul Alam dari LKTO HTI mengakui tidak ikut menandatangani deklarasi tersebut.
Sumber: Redaksi