Kadrun, sebagaimana diketahui oleh masyarakat, pendukung kelompok garis keras maupun penentangnya adalah kata singkatan “kadal gurun” (konon buatan seorang influencer) untuk mencibir orang-orang yang mendukung kelompok politik garis keras.
Karena akronim itu memuat kata kadal yang disandangkan pada sebuah kelompok, maka otomatis itu bermakna menyamakannya dengan binatang itu. Dan karena memuat gurun, yang secara popular identik dengan kawasan Arab, meski beberapa wilayah di Afrika dan Australia juga bergurun, maka penggurunan ini secara khusus dialamatkan pada sesuatu yang terasosiasi ke Arab yang dalam fakta politik di negeri ini menjadi langganan cemooh karena beberapa oknum keturunan Arab yang ambil bagian dalam gerakan politik kontra Pemerintah.
Menyamakan manusia dengan hewan menurut standar kewarasan adalah penghinaan. Dan karena stigmatisasi kadal gurun ini bersifat umum, maka ia bisa digunakan untuk menyasar siapa saja yang secara subjektif dianggap ekstremis dan intoleran meski belum tentu. Dan karena siapapun dari warga negara terutama yang beragama dan tak mendukung Pemerintah divonis intoleran, maka setiap penentang dan yang kritis terhadap kelompok politik yang saat ini berkuasa di-kadrun-kan.
Singkatnya, pengkadrunan ini secara primer menyasar para pelaku gerakan politik anti Pemerintah dari keturunan Arab dan secara sekunder menyasar semua yang menentang kebijaksanaan Pemerintah.
Stigma kadrun sudah menjadi takdir politik di negeri ini sehingga nyaris sulit dinetralisir apalagi dilawan karena bisa dipastikan siapapun yang mempertanyakan atau mengkritisinya, makin dikadrunkan, dan bila dilakukan oleh warga kelas dua, bukan pribumi dari keturunan Arab atau Yaman (saja), maka hadiah caci maki bahkan ancaman yang menantinya. Fakta ini harus diterima dan upaya menolaknya bisa dianggap sia-sia bahkan kontraproduktif.
Namun yang perlu disoroti adalah pernyataan Saudara Guntur Romli, salah satu influencer yang rajin menggunakan kata “kadrun” dalam konten-konten videonya, yang melakukan klarifikasi makna kadrun dengan maksud menepis dugaan rasisme di balik dua kata yang diringkas tersebut.
Guntur Romli mengembalikan kata kadrun kepada kata kadr dan kadir (كدر) dalam bahasa Arab yang berarti keruh. Saya sangat mengapresiasi maksud klarifikasi ini karena, setidaknya, dia menganggap hinaan kepada ras tertentu sebagai sikap negatif dan tidak beradab sejajar dengan ekstremisme dan intoleransi juga politisasi agama yang gigih dilawannya. Ternyata masih ada kejujuran di kalangan kaum nasionalis dan aktivis anti intoleransi yang risih melihat maraknya ujaran kebencian kepada ras Arab dan keturunan Arab.
Sayangnya, klarifikasi kata kadrun dengan mengembalikan arti sebenarnya kepada kata Arab kadr dan kadir yang berarti keruh, bukan kadal dan gurun, terkesan “mokso” dan mengurangi bobot kejujuran intelektual.
Ia juga terjebak dalam paradoks. Di satu sisi mengklarifikasi bahwa kadrun bukan kadal gurun melainkan kata Arab yang berarti keruh, tapi di sisi lain menyebutkan ciri-ciri kadrun seraya mengaitkannya dengan kelompok ideologi dan politik tertentu. Kalau mengikuti nalar klarifikasi Guntur Romli soal kadrun, siapa pun yang pandangan dan sikapnya tidak jernih, bisa disebut kadrun, bukan hanya kelompok ideologi dan politik tertentu, semisal kelompok Islamis yang dianggap kearab-araban.
Kelompok ideologi dan politik apa pun, termasuk sekuler dan liberal, jika tidak jernih bisa disebut kadrun. Jadi ciri-ciri kadrun yg disebutkan oleh Guntur yang hanya menyasar kelompok ideologi dan politik tertentu itu (dan memang kelompok itulah yang selama ini dicap sebagai kadrun), menjadi tidak fair dan kontradiktif.
Lagian, tak perlu juga menjustifikasi stigma kadrun dengan rujukan kata Arab yang bisa dicap ke-arab-araban.
Singkatnya, maksud hati klarifikasi, namun justru terjebak dalam kontradiksi.
ML 27112022