Oleh: Smith Alhadar
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
DALAM konteks pemilihan presiden 2024, Anies Baswedan adalah tokoh fenomenal Indonesia saat ini. Meskipun bukan kader partai politik, populeritas, elektabilitas, dan akseptibilitasnya terus menanjak seiring perjalanan waktu. Fenomena ini membuat potensi calon lawan-lawannya risau.
Pasalnya, ketokohan Anies dibesarkan oleh karakter dan karya-karya besarnya selama memimpin DKI Jakarta yang belum lagi lima tahun, bukan pencitraan yang sedang digemari para pemimpin formal di Indonesia saat ini. Orang seperti ini sulit dihadapi dengan negative campigne, apalagi dengan black campigne. Lihat, kendati sejak hari pertama menduduki Balai Kota para pembencinya sudah melancarkan serangan terhadapnya dengan berbagai fitnah, ia tidak pudar. Yang terjadi justru sebaliknya. Tak heran, beberapa parpol telah memberi isyarat kuat bahwa mereka sedang mempertimbangkan dengan serius untuk mencapreskannya pada pilpres mendatang.
Dinamika politik nasional dalam konteks pilpres di mana Anies menjadi salah satu bakal calon yang sangat kuat, bahkan berpotensi paling besar untuk memenangkan kontestasi, inilah yang kiranya membuat Prabowo, Megawati, dan Ganjar, sulit tidur. Fakta bahwa ketiganya membisu belakangan ini menunjukkan fenomena Anies telah mendisrupsi harapan dan kalkulasi politik mereka.
Ya, Anies melahirkan realitas politik baru yang memaksa mereka harus berhitung ulang atas paradigma yang mereka pegang selama ini. Saat pemilu telah ditetapkan pada Februari 2024, yang berarti tinggal dua tahun lagi, terlihat ketiga tokoh itu melempem ketika surfacing (pemunculan calon) sudah harus dimulai. Memang ada benturan moral dan melemahnya political advantage yang dihadapi ketiganya.
Dalam hasil survei lembaga-lembaga yang kredibel, nama Prabowo Subianto memang masih menempati posisi teratas dalam elektabilitas. Tapi punya kecenderungan negatif. Elektabilitas Prabowo masih tinggi, tapi tak terpaut jauh dari Anies dan Ganjar, karena tiga hal.
Pertama, dibandingkan dengan Anies dan Ganjar, Prabowo paling dikenal publik. Maklum, dia sudah tiga kali mengikuti pilpres. Satu kali sebagai cawapres (2009) dan dua kali sebagai capres (2014 dan 2019). Dia juga pendiri dan sekaligus pemimpin Partai Gerindra, salah satu dari tiga parpol besar bersama PDI-P dan Golkar. Dan saat ini dia adalah Menteri Pertahanan. Kedua, capres resmi saat ini belum ada. Ketiga, kampanye belum dimulai.
Perlu juga diingat bahwa tidak ada faktor kebaruan pada sosok Prabowo, baik dari segi usia maupun visinya. Dia memang representasi manusia Orba. Dihadapkan pada pemilih milenial — yang merupakan 60 persen dari struktur pemilih Indonesia pada pilpres 2024 — yang lebih fokus pada isu-isu kekinian yang berkaitan dengan kepentingan mereka, Prabowo terlihat manusia kadaluarsa, yang tidak lagi match dengan zaman, apalagi sejiwa dengan mereka.
Faktor-faktor di atas jelas tidak menguntungkan Prabowo dan akan jadi pertimbangan parpol lain di luar Gerindra untuk mengusungnya. Kalau menghadapi Jokowi — yang kualitasnya berada di bawah Anies atau Ganjar — Prabowo bisa kalah, apalagi menghadapi kedua gubernur populer itu di zaman yang sudah jauh berbeda.
Kecenderungan merosotnya elektabilitas Prabowo di tengah meningkatnya elektabilitas Anies dan Ganjar membuat Megawati juga susah tidur. Perjanjian Batu Tulis II antara Megawati dan Prabowo mengharuskan PDI-P bersama Gerindra mengusung Prabowo dan Puan sebagai capres dan cawapres dalam pilpres mendatang. Padahal, peluang menang pasangan ini tidak menjanjikan.
Hasil survei semua lembaga survei yang kredibel memperlihatkan tingkat elektabilitas Puan menyedihkan. Rendahnya elektabilitas Puan, meskipun ia telah lama bergiat di PDI-P sebagai pengurus teras dan pernah menduduki posisi menteri serta kini menjabat sebagai ketua DPR, sangat mungkin disebabkan kinerjanya jeblok. Bahkan, saat menduduki Ketua DPR, lembaga yang dipimpinnya mengeluarkan dua UU — UU Cipta Kerja dan UU IKN — yang menimbulkan kegaduhan nasional.
Malah UU Cipta Kerja dinilai MK sebagai inkonstitusional bersyarat. Sementara itu, UU IKN digugat publik karena dinilai tidak bermoral, ngawur, dan sembrono. Dengan kata lain, dua UU itu tidak berkualitas, imoral, melawan rasa keadilan, dan hanya melayani kepentingan oligarki.
Ingat, Megawati pun kalah dalam dua pilpres (2004 dan 2009) karena kebijakannya menjual aset nasional yang strategis (Indosat) kepada asing dengan harga murah. Beliau juga menjual harga gas Papua kepada Cina dengan harga jauh di bawah harga pasar dunia. Beliau kalah telak dari SBY yang ketika itu belum banyak dikenal.
Karena faktor lemahnya pasangan Prabowo-Puan, parpol-parpol lain akan berpikir seribu kali untuk ikut berkoalisi dengan PDI-P-Gerindra. Dus, kalau dipaksakan, pasangan Prabowo-Puan hanya jadi penggembira pada pilpres 2024. Sebagai politisi berpengalaman dan dikelilingi banyak penasihat mumpuni, mestinya Megawati membatalkan sekali lagi Perjanjian Batu Tulis karena buat apa memajukan pasangan yang sudah hampir pasti kalah. Namun, secara moral, dia tetap harus mendukung Prabowo-Puan, kecuali dengan kesadaran sendiri Prabowo mengundurkan diri dari bakal pencalonannya.
Dengan begitu, Megawati bisa beralih ke Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang sedang populer. Namun, Megawati masih akan pusing tujuh keliling karena kemungkinan besar Ganjar tak mau diposisikan sebagai cawapres mendampingi Puan sebagai capres. Selain kemungkinan besar kalah, Ganjar berpeluang diusung parpol lain kalau PDI-P tidak mencapreskannya.
Tetapi kalau Ganjar dicapreskan PDI-P, Megawati harus membuang Puan untuk digantikan cawapres dari partai lain untuk mendongkrak elektabilitas Ganjar dengan pasangannya. Hal ini berat bagi Megawati karena kemungkinan pilpres 2024 merupakan pilpres terakhirnya mengingat usianya pada pilpres 2029 sudah menginjak 82 tahun, usia yang sudah sangat uzur kalaupun beliau berumur panjang. Padahal, Puan telah lama dibina untuk menjadi pemimpin bangsa menggantikan beliau. Dan hal itu hanya mungkin kalau Puan menjadi presiden atau wakil presiden pada 2024.
Yang paling bikin mumet Megawati adalah sikap ngotot Prabowo untuk dicapreskan PDI-P yang secara moral harus dipenuhi beliau. Ada alasan lain mengapa Prabowo harus dicapreskan PDI-P, yaitu perhitungan strategis jangka panjang PDI-P untuk kemungkinan terus berperan menentukan dalam politik nasional. Megawati dan Prabowo hendak membangun koalisi permanen PDI-P-Gerindra. Dengan begitu, kedua parpol besar ini diharapkan akan selalu menjadi magnet bagi parpol lain untuk berkoalisi dengan mereka dalam setiap pilpres.
Kesadaran Prabowo akan posisi krusial Gerindra dalam strategi jangka panjang PDI-P inilah yang membuat ia yakin Megawati akan mencapreskannya. Kalau tidak, PDI-P akan kehilangan mitra nasionalis yang dapat diandalkan untuk selamanya. Bahkan, pengkhianatan Megawati kepada Prabowo untuk kedua kalinya akan menghilangkan kesempatan PDI-P mencari mitra lain pengganti Gerindra.
Saya melihat kali ini Megawati akan istiqamah berpegang pada komitmennya mengusung Prabowo meskipun Puan akan dikorbankan untuk sementara. Toh, “masih ada kesempatan” bagi Puan yang masih muda untuk menjadi pemimpin bangsa dengan catatan PDI-P masih menjadi parpol besar pasca Megawati.
Tetapi mengganti Puan dengan cawapres dari parpol lain untuk dipasangkan dengan Prabowo bukan perkara mudah meskipun koalisi PDI-P-Gerindra meningkatkan daya tarik parpol lain untuk bergabung. Ini karena Prabowo sudah menjadi kartu mati. Tetapi Ganjar juga tidur tak nyenyak. Meskipun memiliki elektabilitas tinggi — masuk tiga besar bersama Prabowo dan Anies — Ganjar berada di istana pasir yang berpotensi ambrol pada waktu mendatang. Ia populer berkat politik asosiasi. Artinya, masyarakat Jawa melihatnya sebagai represntasi PDI -P. Kebetulan juga sampai sekarang belum ada resistensi terbuka Megawati terhadap Ganjar. Begitu Megawati azan dengan mengusung Prabowo, elektabilitas Ganjar pasti merosot tajam. Toh, sejauh ini populeritas Ganjar hanya bergema di masyarakat Jawa, lumbung suara PDIP.
Dengan begitu, yang juga mengkhawatirkan Ganjar, daya tariknya untuk dipinang parpol lain melemah. Apalagi, suara Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan wilayah luar Jawa telah dimenangkan Anies. Kalaupun nanti terbentuk resmi tiga pasangan calon dengan Prabowo, Anies, dan Ganjar sebagai capres, maka peluang Anies memenangkan konstestasi terbuka lebar. Hitung-hitungan ini bisa jadi akan mengubah konstelasi politik elektoral pada waktu dekat mendatang.
Melihat posisi dilematis Prabowo dan Megawati, bukan tidak mungkin kedua tokoh bangsa ini berpaling kepada Anies sebagai jalan kompromi. Beliau akan dipasangkan dengan Puan sebagai cawapres yang menjanjikan kemenangan nyaris pasti. Kemungkina ini juga yang membuat Ganjar gelisah.
Di luar itu, mengusung Anies merupakan mandat kebangsaan yang mestinya jadi pertimbangan utama dua tokoh nasionalis yang prihatin pada situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Anies adalah tokoh paling representatif sebagai pemersatu bangsa yang terbelah secara tajam antara kelompok Islam dan nasionalis sejak 2014.
Bakal capres lain tidak punya DNA keIndonesiaan saat ini melebihi Anies. Lebih daripada itu, Anies Rasyid Baswedan adalah tokoh besar yang seluruh karyanya telah terbukti berorientasi pada kemajuan peradaban dan kesejahteraan bangsa Indonesia meskipun otoritasnya hanya terbatas pada wilayah DKI. Dialah representasi Indonesia sejati hari ini.
Akaseptabilitas dia di panggung internasional juga cukup luas yang dapat memudahkan Indonesia menyelesaikan isu-isu domestik yang berkelundan dengan masalah internasional. Postur moral, karakter, leadership, dan kapasitas intelektualnya memang sesuai dengan zaman untuk menjawab banyak masalah besar bangsa hari ini. Maka, mengusung Anies dalam pilpres 2024 merupakan bentuk tanggung jawab kebangsaan para pemimpin parpol. Tentu saja Anies bukan malaikat. Tapi dengan meletakkan semua variabel di atas meja — variabel ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dalam konteks Indonesia hari ini — maka secara rasional pilihan pada Anies merupakan keniscayaan.
Saya malah khawatir Anies tak mau dicalonkan. Karena kalau demikian, kita akan kehilangan momen sejarah langka untuk membawa Indonesia keluar dari berbagai masalah njelimet. Indonesia juga harus menunda ambisinya menjadi negara maju nan sejahtera, berkeadilan, dan harmonis, ketika merayakan satu abad eksistensinya.