INDONESIA TODAY – Ada sukacita yang mereka bagikan lewat lagu hingga apa yang tampak di panggung bukan sekadar tontonan, melainkan perayaan kebersamaan dalam satu rasa. Ini terasa, antara lain, lewat penampilan terakhir mereka di Solo.
God Bless akan berusia 50 tahun pada 7 Mei mendatang. Setengah abad memang bilangan yang menyejarah. Dan untuk negeri ini, God Bless bisa dibilang sebagai sejarah hidup, living history. Bahkan boleh juga dikatakan sebagai rocking legend, legenda rock yang masih manggung, tetap nge-rock.
Ahmad Albar tahun ini akan genap 77 tahun, pemetik bas Donny Fattah Gagola (73), dan gitaris Ian Antono (72). Bergabung pula kawan lama mereka kibordis Abadi Soesman (74) dan drumer Fajar Satritama (52).
Mereka masih bakoh, kukuh nan teguh di panggung. Bahkan God Bless oleh promotor Rajawali Indonesia dipilih menjadi band pembuka konser Deep Purple di Kota Solo, 10 Maret 2023. Peran sejarah Ahmad Albar dan kawan-kawan itu berulang kembali karena pada 1975 God Bless juga membuka konser Deep Purple di Jakarta.
Ini sebuah pengakuan untuk God Bless sebagai band yang pantas bersepanggung dengan band rock Inggris yang ditabalkan sebagai salah satu perintis musik metal itu. Bagi God Bless, ini juga suatu pembuktian bahwa mereka masih tangguh setelah 50 tahun malang melintang di jagat rock. Mereka mampu melewatinya dengan perkasa.
Seperti halnya Deep Purple yang bertahan 54 tahun dengan 9 kali bongkar pasang formasi, begitu pula God Bless yang menempuh masa 50 tahun dengan berganti-ganti formasi hingga tak kurang dari 15 kali.
Di antara mereka yang pernah bergabung, sudah ada yang meninggal dunia, yaitu Soman Lubis, Deddy Dores, Fuad Hassan, dan Yockie Suryoprayogo. Pada penampilan di Solo, God Bless didukung oleh basis Arya Setyadi sebagai pemain sulih untuk Donny Gagola yang sedang berhalangan.
Grup God Bless tampil sebagai pembuka konser tur dunia Deep Purple di Edutorium UMS, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (10/3/2023). God Bless tampil dengan formasi Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor), Fajar Satritama (drum), dan Arya Setyadi yang menggantikan Donny Fattah pada posisi bas.
Grup God Bless tampil sebagai pembuka konser tur dunia Deep Purple di Edutorium UMS, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (10/3/2023). God Bless tampil dengan formasi Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor), Fajar Satritama (drum), dan Arya Setyadi yang menggantikan Donny Fattah pada posisi bas.
Untuk grup yang sudah berpengalaman puluhan tahun, ada satu hal yang terasa kuat, yaitu karisma panggung. Ini bukan sekadar urusan kemampuan teknis bermain musik, bukan pula karena dukungan perangkat tata suara.
Karisma hadir karena kemenyatuan antara musisi, musik, dan audiens. Mereka tidak asyik sendiri, melainkan ada naluri yang kuat untuk berkomunikasi dengan audiens lewat musik.
Ada sukacita yang mereka bagikan lewat lagu hingga apa yang tampak di panggung bukan sekadar tontonan, melainkan perayaan kebersamaan dalam satu rasa. Suasana seperti itu, antara lain, terasa di Solo pada lagu ”Kehidupan”, ”Panggung Sandiwara”, ”Semut Hitam”, dan ”Rumah Kita”.
Matang di panggung
Sejak sebelum memiliki album, nama God Bless memang sudah berkibar. Mereka adalah band panggung, yang harus membuktikan kemampuan dan kekuatan di depan audiens di kota-kota.
Jika publik berkenan, penonton akan menyambut riuh. Sebaliknya, jika khalayak tidak dapat mengapresiasi, yang akan terjadi adalah lemparan sandal. Setidaknya itulah pemandangan pada era 1970-an. Media massa pada masa itu memberi sebutan ”hujan batu”. God Bless dan band-band lain pernah melawati fase-fase seperti itu pada era awal 1970-an.
Jauh hari sebelum terdengar lagunya lewat album, God Bless sudah mendapat panggung meriah di media massa. Salah satunya, majalah Aktuil. Dengan gaya reportase visualnya, Aktuil memberi laporan pandangan mata tentang aksi panggung Ahmad Albar dan kawan-kawan.
Grup rock Indonesia, God Bless, sedang manggung dalam konser Summer 28, yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta. 16 Agustus 1973. Selain God Bless, tampil pula Koes Plus, The Disc, The Mercy’s, Panbers, Bimbo, The Rollies, Gang of Harry Roesli, dan Young Gipsy.
KOMPAS/JB KRISTANTO
Grup rock Indonesia, God Bless, sedang manggung dalam konser Summer 28, yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta. 16 Agustus 1973. Selain God Bless, tampil pula Koes Plus, The Disc, The Mercy’s, Panbers, Bimbo, The Rollies, Gang of Harry Roesli, dan Young Gipsy.
Apa pun yang dilakukan, bahkan yang tidak dilakukan awak God Bless di atas panggung atau di luar panggung, semua terendus oleh Aktuil dan menjadi konsumsi pembacanya. Hubungan antara band dan wartawan memang akrab, dan itu berimbas pada popularitas band.
Kadang bukan hanya wartawan yang menghubungi artis, sebaliknya justru awak bandlah yang menyambangi kantor redaksi media massa.
Belum genap setahun terbentuk, God Bless sudah muncul di film A.m.b.i.s.i karya sutradara Nya Abbas Akup (1973). Di film ini ditampilkan grup musik yang tengah populer pada awal 1970-an, yaitu Koes Plus yang sudah mempunyai delapan album, Bimbo yang juga sedang jaya, dan God Bless yang belum punya album.
Pada film itulah, sosok God Bless di panggung dikenal luas oleh masyarakat yang belum pernah menyaksikan aksi mereka dalam konser. Saat itu, God Bless tampil dengan formasi awal, yaitu Ahmad Albar sang vokalis utama, Donny Gagola (bas), Ludwig Le Mans (gitar), Fuad Hassan (drum), Deddy Dores (kibor).
Baca juga: “Hari Ini Kau Kembali…” Nomo Koeswoyo
Para personel God Bless (2016), dari kiri ke kanan Donny Gagola (bas), Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor).
FRANS SARTONO
Para personel God Bless (2016), dari kiri ke kanan Donny Gagola (bas), Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor).
Pengaruh awal
Pada film itu God Bless manggung membawakan lagu ”Free Ride”, lagu rock yang sedang terkenal pada 1973 milik band Amerika, The Edgar Winter Group. Mereka juga membawakan ”Persembahanku” lagu adaptasi yang melodinya menggunakan lagu ”I Will” dari The Rattles, band asal Jerman.
Suara Ahmad Albar memang terasa pas untuk membawakan lagu-lagu tersebut. Suara Albar terdengar nyaman dan dia nyanyi dengan nyaman pula untuk jenis lagu-lagu tersebut.
Mungkin, bisa dikatakan lagu-lagu seperti ”Free Ride” dan ”I Will” merupakan ”stereotipe” dari lagu-lagu God Bless di kemudian hari. ”Free Ride” berjenis rock ringan atau rock yang nge-pop.
Mungkin, bisa dikatakan lagu-lagu seperti ”Free Ride” dan ”I Will” merupakan ”stereotipe” dari lagu-lagu God Bless di kemudian hari.
Adapun ”I Will” adalah jenis balada, atau rock ballad, atau ada yang bilang jenis slow rock. Jika kita simak album pertama God Bless, yang diambil dari namanya sendiri, God Bless (1976), maka kita akan mendengar lagu yang berasa balada seperti ”I Will”. Lagu tersebut adalah ”She Passed Away” karya Albar dan Donny, dan ”Huma di Atas Bukit” karya Albar dan Donny dengan lirik Sjumandjaja.
Dari dua lagu tersebut, bisa dikatakan God Bless pada masa awal ada pengaruh ”DNA” dari The Edgar Winter Group dan sedikit unsur pengaruh The Rattles. Sangat kebetulan pula, The Rattles juga terpengaruh oleh Beatles. Seperti kita tahu, God Bless pada album pertamanya juga membawakan lagu Beatles ”Eleanor Rigby”.
Sudah jamak dan lumrah sebuah band sedikit banyak terpengaruh oleh rasa band lain, terutama pada masa-masa awal pembentukan diri. God Bless juga melewati tahapan pencarian identitas.
Ada jejak-jejak pengaruh The Rattles, Genesis, Kansas, Beatles, dan lainnya. Bisa dikatakan, itu adalah masa transisi God Bless sebagai band pembawa lagu orang ke band yang harus membuat lagu sendiri. Mereka belajar terus mencari warna sebagai band.
Mencerna dan mengolah
Era awal 1970-an bisa dikatakan sebagai masa belajar dan mencari bentuk rock bagi band-band di negeri ini. Mereka mencerna dan mengolah pengaruh dari musik yang menjadi acuan atau referensi mereka, termasuk juga God Bless.
Panggung musik bisa dikatakan sebagai ajang unjuk kemampuan atas hasil olah pengaruh tersebut. Penonton pun menikmati, meski mereka sadar dan mengenal benar bahwa lagu yang dibawakan sebuah band itu milik band lain.
Seperti disebut di atas, God Bless suka membawakan ”Free Ride” dari The Edgar Winter Group atau ”Eleanor Rigby”-nya Beatles. Begitu pula band-band lain, seperti Ternchem. Band rock kota Solo itu kerap membawakan ”Child in Time”-nya Deep Purple.
Sementara band AKA dari Surabaya lewat vokalis Ucok Harahap suka membawakan lagu soul-nya James Brown, ”Sex Machine”. Kemudian The Rollies dari Bandung yang memilih jenis musik brass rock, suka membawakan lagu-lagu beraliran jazz rock dan soul, seperti Tower of Power, lewat lagu ”You’re Still a Young Man”. Atau juga Super Kids yang kerap membawakan lagu Beatles, dan Rolling Stones dengan gaya nyanyi dimirip-miripkan Mick Jagger.
Gito Rollies dalam wawancara dengan harian Kompas mengakui, ia bukan hanya meniru suara James Brown, melainkan juga gaya panggung penyanyi soul dari Amerika itu. Gito suka membawakan lagu ”I Got You (I Feel Good)” atau juga ”It’s a Man’s Man’s Man’s World”.
Itu mengapa Bangun Sugito pernah disebut sebagai James Brown-nya Indonesia. Begitu pula karena pengaruh gaya, penyanyi Ikang Fawzi disebut-sebut sebagai Rod Stewart-nya negeri ini.
Sekadar catatan, band-band lain pada masa-masa sebelumnya juga melewati tahapan serupa. Koes Bersaudara juga banyak mencerna pengaruh dari Everly Brothers dan Kailan Twins.
Belakangan ketika Beatles, Rolling Stones, dan Bee Gees merajalela, Koes Bersaudara yang kemudian berubah menjadi Koes Plus, juga merasa perlu mengubah acuan musik mereka. Mengubah referensi musik juga suatu proses yang wajar untuk sebuah grup musik.
Rollies sebelumnya juga memainkan lagu Beatles dan Rolling Stones, kemudian beralih haluan ke brass rock ala Chicago, Tower and Power, dan Blood Sweat and Tears.
Begitulah, ada suatu fase pada sebuah band ketika mereka membentuk diri dan mencari identitas. Pada tahapan selanjutnya, seiring jam terbang, mereka masuk masa-masa pematangan dan penguatan identitas. God Bless telah melewat lima dekade dengan segala jatuh bangun dalam mematangkan diri secara terus-menerus.
Rakyat biasa
Beberapa hari lalu saya ikut bergabung dengan mas-mas God Bless yang berbuka puasa di Jakarta. Keluarga besar God Bless hadir, termasuk para istri. Mas Teddy Sujaya yang sudah tidak aktif juga hadir bersama anak cucu.
Saya merasakan benar adanya kehidupan sebuah band di luar panggung. Mas Iyek, Mas Ian, dan kawan-kawan yang baik hati itu hadir dalam sosok keseharian, rakyat biasa, bersama keluarga dan kawan-kawan.
Mereka sedang menyiapkan diri untuk merayakan 50 tahun setengah abad keberadaan God Bless. Direncanakan, nanti akan ada penerbitan buku, pembuatan film, dan konser setengah abad.
God Bless dengan lagu-lagu yang mereka bawakan menemani kehidupan pendengarnya selama setengah abad. Ahmad Albar dan kawan-kawan sejatinya adalah orang-orang yang sama dengan pendengar lagu-lagu God Bless.
Mereka jatuh bangun dalam suka duka seperti juga warga negeri ini yang mereka sebut dalam syair-sayir lagunya. Mereka mendengar suara suka duka rakyat negeri ini. Seperti yang mereka lagukan lewat karya Areng Widodo yang sering mereka bawakan di panggung ”Malam panjang, remang-remang/ Di dalam gelap daku dengarkan/ Syair lagu kehidupan…”
Mereka berbagai rasa lewat lagu, seperti dikatakan penyanyi country Willie Nelson. ”Kita semua sama. Tidak ada perbedaan di mana pun di dunia. Orang adalah orang. Mereka tertawa, menangis, merasakan, dan mencintai, dan musik tampaknya menjadi gerakan umum yang menyatukan kita semua. Musik menembus semua batasan dan langsung menyentuh jiwa…”
Frans Sartono