Pada dasarnya, siapapun berhak memajang gelar habib, atau syarif atau sayyid meski pemajangnya tidak lebih mulia dari non habib non syarif dan non sayyid. Siapapun berhak mengaku sebagai dzurriyyah Nabi dengan bukti buku nasab, buku sejarah atau tanpa bukti apapun meski pengakunya tidak lebih mulia dari non dzurriyyah. Siapapun berhak membenarkan, meragukan dan menolak klaim nasab siapapun dengan atau tanpa bukti.
Persoalan menjadi rumit ketika seseorang ingin menghukum sebuah komunitas dengan distorsi dan manipulasi atas nama “penelitian ilmiah” karena konflik personal dengan satu atau beberapa orang yang terasosiasi dengan komunitas itu.
Karena sadar bahwa rasisme adalah cermin immoralitas, sebagian pengidapnya berusaha membedakinya dengan justifikasi serampangan seraya berseloroh, “tak ada asap, bila tak ada api”. Pengidapnya berusaha menimpakan dosa segelintir orang atas satu juta lebih warga negara yang ditakdirkan lahir sebagai keturunan Baalawi. Ini terlalu jorok untuk ditanggapi secara serius.
Dengan alasan tidak adanya nama Ubaidillah/Abdullah dalam kitab nasab abad ke 6 Asy-Syajarah Al-Mubarakah karya Al-Fakhr Ar-Razi yang hanya mencantumkan tiga nama putera Ahmad Al-Muhajir tanpa Ubaidillah atau Abdullah, pengklaim “penelitian ilmiah” menjatuhkan vonis historikal bahwa komunitas alawiyyin adalah dzurriyyah palsu.
Palu dipukulkan, seketika kekesalan terpendam meletus dalam napalm narasi kebencian. Berkat amplifikasi eksesif dan terpadu, api kemarahan melumat yang kering, melibas yang basah.
Dia mengabaikan beberapa kitab nasab dan sejarah yang menkonfirmasi nama Ubaidillah sebagai putera Ahmad Al-Muhajir karena ditulis beberapa abad setelah karya Ar-Fakhr Ar-Razi tersebut. karena setiap kitab yang lebih muda bisa dituduh mencangkok nama Ubaidillah.
Standar yang dipatok olehnya secara vulgar bertentangan dengan standar yang berlaku dalam metodologi ilmu nasab. Tantangan menghadirkan kitab karya ahli nasab sezaman atau lebih tua adalah postulat andalan utamanya.
Demi mempertahankan kaidah tak lazim ini, tanpa disadari dia menganulir sebagian besar nama ulama besar dan karya mereka, termasuk Ibnu Hajar Al-Haitsami yang mengafirmasi Ubaidillah sebagai putera Ahmad Al-Muhajir.
Implikasi pembatasan bukti ini bisa menjadi gempa “semi”intelektual yang menggugurkan banyak, kredibilitas ulama-ulama terkemuka seperti Al-Haitsami, As-Sakhawi, Az-Zabidi dan lainnya bahkan para kyai terkemuka yang mengkonfirnasi nasab Ba’Alwi berdasarkan syuhrah dan istifadhah.
Narasi rasisme yang terus disebarkan oleh para pendukung “penelitian ilmiah” ini tak hanya menyasar kalangan alawiyin, tapi bisa menjadi tsunami yang menerjang dan merusak prasasti mulia sejarah para ulama terkemuka, para kyai utama, terutama pendiri dua organisasi Islam yang dalam silsilah nasab dan ilmu terhubung dengan sejumlah ulama dari kalangan Ba’Alawi. Narasi yang menghidupkan frasa bangkai “non pribumi” yang telah terkubur dalam liang kolonialisme dengan tujuan pengucilan komunitas Ba’Alawi, malah mengenai banyak tokoh agama dan negara yang silsilahnya dari jalur manapun terhubung dengan “pendatang”.
Anehnya, dia dengan gamblang mengakui kejujuran ulama ahli nasab bermazhab Syiah di Iran, Sayyid Mahdi Rajai, karena tahqiqnya atas Asy-Syajarah Al-Mubarakah menjadi argumen penguat otentisitas kitab tersebut. Mestinya pengakuan kejujuran harus konsisten dengan mengakui juga kejujuran Sayyid Rajai yang menyatakan ketersambungan nasab Ubaidillah. Dengan dalih bahwa pernyataan Rajai hanyalah opini yang bersandar pada syuhrah dan kitab-kitab nasab sezaman atau yang lebih tua. Padahal kitab Asy-Syajarah Al-Mubarakah sendiri menurut banyak ulama Ahlussunnah, tidak ada dalam list karya Ar-Razi.
Bila bersikukuh dengan pendapatnya yang bersandar pada kitab nasab Al-Fakhr Ar-Razi yang diyakininya paling tua seraya menolak parameter syuhrah dan istifadhah, maka berdasarkan kaidah logika “tidak ditemukan tak menunjukkan tidak ada”, dan searah dengan kaidah baku ini, tak tertulis bukanlah bukti nasab terputus, mestinya, dia berhenti pada kesimpulan subjektif “nasab Ubaidillah diragukan”
Pada dasarnya “nasab terputus” yang disematkan kepada Ubaidillah dan ratusan ribu bahkan lebih para Ba’alwiyin oleh orang-orang yang membatasi bukti keotentikan nasab pada teks buku nasab sezaman kakek mereka, juga tak mengubah fakta Ubaidillah sebagai putera Ahmad Al-Muhajir maupun bukan. Epistemologi dan ontologi dalam filsafat secara detail menguraikan klausa “tsubut” yang dihubungkan eksistensi dan “istbat” yang dihubungkan dengan persepsi. Konsekuensi maksimal dari kesimpulan prematurnya adalah “nasab para alawiyin tak tercatat dalam kitab nasab Al-Fakhr Ar-Razi,” bukan afirmasi keterputusan nasab yang menabrak puluhan kitab nasab lainnya juga syuhrah dan istifadhah.
Meski mencoba lari dan melompati sebuah kaidah paling dasar dalam pembahasan Nasab, tentu tak bisa menolak syuhrah (ketenaran) dan istfadhah (kesanteran) yang disepakati dalam ilm al-ansab sebagai metode valid penetapan nasab. Namun karena sejak semula bermaksud menolak nasab Ba’Alawi, dia menetapkan syarat keabsahan parameter syuhrah dan istifadhah berupa teks kitab nasab dan sejarah sezaman. Pensyaratan ini sama dengan menganggap syuhrah dan istifadhah bukanlah bukti keabsahan nasab. Standar ini lebih tepat disebut “metode pokoknya”.
Bila tak terdengar dari kalangan komunitas alawiyin yang menyatakan kesiapan meladeni tantangan debat yang digemborkannya, dan karena itu dicemoohnya sebagai tanda kekalahan, sangat mungkin banyak cendekiawan dari kalangan kyai dan alawiyin punya kompetensi keilmuan untuk turun ke arena tanding debat terbuka, meski sebagian dari mereka telah memberikan bantahan-bantahan ilmiah dalam ragam konten video dan artikel. Namun banyak pertimbangan kemaslahatan yang menahan mereka untuk lebih memilih diam.
Boleh jadi, menyambut tantangan debat dari orang yang telah membatasi cara pembuktian ketersambungan nasab melalui kitab nasab sezaman dengan Ubaidilllah dan menolak semua metode syuhrah dan istifadhah dalam verifikasi nasab berarti merelakan diri menjadi pesakitan dalam pengadilan dendam yang dikerumuni oleh massa pembenci.
Terlepas dari tendensi personal atau tidak di balik sikap dan pandangannya seputar nasab Ubaidillah, pengingkar punya hak untuk mengetengahkan pendapatnya berdasarkan argumen pilihannya. Sebagai sebuah pendapat, tak patut dianggap sebagai keputusan mutlak dan vonis final, juga tak layak ditanggapi dengan tuduhan dan ekspresi emosional.
Tentu tak bisa memaksa pengingkar untuk mengakui para Ba’Alwiyin sebagai keturunan Nabi, apalagi pengingkarannya tak hanya didasarkan pada bukti teks kitab karya Fakhruddin Ar-Razi saja tapi sejumlah faktor personal terkait sejumlah kasus dan peristiwa dengan oknum RA atau karena ulah negatif beberapa oknum habib perusak.
Cukup.gamblang untuk disimpulkan bahwa latar belakang kekecewaan personal lebih kuat dari sekadar klaim “penelitian ilmiah”. Munculnya narasi-narasi tambahan soal non pribumi, kemudian antek penjajah dan yang terbaru, keturunan Yahudi, sebagai hasil kompilasi info-info bugil dari fakta, mempertebal indikatornya.
Bila memang konsisten dengan klaim “penelitian ilmiah”, mestinya tetap mempertahankan narasi nasab, bukan malah menggalang aliansi orang-orang yang masing-masing punya album kecewa kepada RA dan beberapa gelintir oknum alawi congkak lalu menaikan level tensi ujaran kebencian yang makin vulgar dan sadis kepada seluruh komunitas Ba’Alawi dalam ratusan konten video yang diproduksi secara eksesif dan massif lengkap dengan tim pemberi comment kasar.
Bila memang konsisten dengan klaim “penelitian ilmiah”, mestinya mempresentasikannya dalam forum ilmiah yang dihadiri para ilmuwan dan cendekiawan kritis yang tak memihak, tidak malah melemparkannya sebagai konsumsi publik disertai aneka konten video “berseri” yang dipenuhi provokasi dan hinaan.
Mestinya “magnum opus” sang peneliti tak hanya bergerak dari panggung ke panggung dan hanya diapresiasi dengan sorakan dan comment serampangan. Bila ia bergulir dalam intraksi tak berkanal dan ikut pada stream algoritma sebagai modal “kehebohan”nya, dengan standar “jumlah penonton” atau views kemudian mendapatkan sambutan dari publik awam, maka itu lebih mirip dengan pseudo penelitian ilmiah atau “metode pokoknya”
Tampaknya klaim penelitian ilmiah dalam kasus khusus ini memang karya yang sengaja dipersembahkan sebagai objek visual dalam masyarakat yang mengutamakan menonton hanya perlu aktifasi indera dan imagi atas literasi yang menuntut komparasi dan independensi, karena memang tujuan utamanya adalah pemenuhan dahaga kebencian. Karena itulah, tak mengherankan bila publik medsos yang sebagiannya merupakan pecandu industri kehebohan dan industri kebencian berjingkrak-jingkrak merayakan kegaduhan dengan melahap habis paket-paket lengkap menu kebencian berbalut busana agamawan. Mereka pun mengikuti jejak para habib perusak pengobral kalimat kasar dan kotor. Pesta adrenaline tanpa jeda pun berlangsung, tak peduli berapapun jumlah korbannya.
Mereka tentu tahu tentang paradoks totalisasi predikat negatif atas satu kelompok dan sadar bahwa perilaku buruk satu atau beberapa oknum hanyalah dalih sampah untuk membenci satu komunitas etnik tanpa pilih dan pilah. Tak perlu pintar untuk paham bahwa rasisme adalah akibat disfungsi hati dan akal tak perlu alasan.
Selama garis keturunan Nabi dan bukan adalah setara tanpa keunggulan kecuali ketakwaan, mestinya mudah disimpulkan bahwa cucu asli maupun palsu, dianggap nasabnya tersambung atau terputus tak ada pengaruhnya.
Karena mayoritas masyarakat beradab tak memberikan respon berarti karena mengetahui implikasi destruktifnya sangat luas dan melemparkan bangsa besar ke era kegelapan.
Alhamdullilah, KH Yahya Kholil Staquf, Ketua Unmum PBNU, organisasi terbesar umat Islam, yang selama berdiri banyak tokoh Ba’Alawi menjadi elemen-elemen pentingnya dalam silsilah nasab dan ilmu para ulama pendiri dan para pelanjut kepemimpinnannya juga dalam struktur dan kulturnya memberikan pernyataan proporsional. Beliau dengan nalar kebijaksanaannya memahami efek negatif dari narasi yang mendelegitimasi posisi penting Ba’Alwi di Indonesia, memberikan komunike umum setaraf fatwa nasional yang menghimbau penghentikan polemik kontra produktif ini. Selaku pemegang otoritas formal, pernyataan Gus Yahya merupakan ekspresi sikap dan pandangan yang dimanuti nahdliyin. Simthud-durar, Ratibul-Haddad, Al-Wirdul-Lathif dan lainnya yang telah mengadon dengan budaya dan jatidiri Islam Nusantara yang dibangun oleh Hadhrotusy-Syeikh Hasyim Asy’ari, KH. Syamsul Arifin dan para ulama kharismatik lainnya, terlalu kuat dan mengakar untuk diruntuhkan oleh narasi sampah rasisme.
Himbauan bijak tersebut menjadi pelajaran penting bagi komunitas Ba’Alwi untuk introspeksi dan evaluasi terhadap perilaku sebagian oknum pemajang gelar habib yang secara nyata menjadi unsur perusak persatuan bangsa dan umat.
Amat disayangkan bila para penyebar isu nasab ini tidak menggubris himbauan tersebut bahkan meningkatkan frekuensi narasinya seolah mencibirnya. Tak diragukan lagi, mereka “bermain” dalam teritori pengaruh kultural NU.
Amat disayangkan pula bila sikap bijak tersebut justru direspon dengan sikap yang tak mencerminkan kewaraan dan kerendahan hati pihak yang memegang posisi penting dalam lembaga yang dianggap sebagai wadah komunitas alawiyin.
Rupanya tak banyak yang mengetahui bahwa lembaga itu bukan wadah yang merepresentasi seluruh individu alawi. Ia bahkan bukan ormas yang punya anggota resmi dalam strukturnya. Karena anggapan inilah, pihak-pihak yang kecewa kepadanya terkait sejumlah persoalan pendaftaran dan validasi nasab, menimpakan kesalahan atas komunitas alawiyin.
Padahal faktanya tak semua alawiyin dari ragam marga tercatat di organisasi tersebut atau di lembaga pencatatan nasab yang berada di bawahnya karena alasan-alasan faktual sebagai berikut :
A. Banyak keluarga alawiyin di Indonesia menganggap dokumen nasab sebagai dokumen privat dan catatan khusus keluarga. Karenanya, tak merasa perlu mendaftarkannya di lembaga tersebut.
B. Sebagian besar generasi muda komunitas ini tak memberikan perhatian khusus kepada masalah nasab. Sebagian besar dari mereka tak lagi mencantumkan nama marga dalam KTP bahkan menambahkan nama lokal karena kesadaran akulturasi sebagai bagian integral dari bangsa ini dan karena menganggapnya irrelevan dalam konstruksi modern bangsa Indonesia.
Lembaga nasab dan para tokoh elitnya perlu legowo mengakui kesalahan dalam sikap dan perilaku negatif sebagian oknum alawi seraya memberikan tanggapan yang meneduhkan sekaligus memohon maaf meski mungkin sebagian orang di pihak kontra mencemooh dan melukiskan perubahan sikap itu sebagai kepanikan dan kekalahan. Itulah risiko terburuk. Di sisi lain layak dimohon kepada para kyai dan gus, terutama komunitas dzurriyyah Wali Songo berlapang dada menerima permohonan maaf sembari mempertimbangkan sejumlah alawiyin progresif yang konsisten menyampaikan autokritik dengan mengecam oknum-oknum yang menunjukkan keangkuhan di atas panggung dan di depan kamera .
Searah dengan itu, beberapa kyai juga gus yang kecewa terhadap sepak terjang sejumlah habib perusak diharapkan lebih berkenan menyeleksi bila menyikapi oknum-oknum alawiyin tanpa totalisasi seluruh komunitas dengan narasi yang tak selaras dengan budaya ketimuran, hukum agama, konstitusi negara dan traktat hak asasi manusia.
Sejatinya, narasi rasisme segelintir orang pemajang gelar gus dan kyai itu tak kalah buruk dengan pernyataan kasar segelintir preman berjubah pemajang gelar habib itu. Rasisme dan sektarianisme adalah sampah berserak yang diriuhkan oleh sekawan lalat di atas altar peradaban humanitas yang toleran, santun dan sembada. Kecongkakan dan kedengkian tetaplah beraroma busuk meski dilontarkan oleh bangsawan maupun gelandangan dan meski ditaburi dengan jargon cinta agama dan cinta bangsa. Pesonanya adalah fatamorgana dan riuhnya hanyalah sementara.
ً”Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) semua kemuliaan adalah milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan Dia akan mengangkat perbuatan baik.” (Fathir : 10).
“Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24).
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Ibrahim : 26).
Dalam setiap komunitas etnis, suku dan keyakinan ada yang baik dan ada pula yang buruk, pejuang dan pengkhianat, pengabdi dan koruptor, tulus dan pamrih. Itulah dialektika determinan. Tak perlu referensi manuskrip, tes DNA dan validasi garis silsilah di penjara yang juga dihuni oleh banyak peraga busana ulama pelaku pencabulan, penyodomi, pemerkosa santri dan pedofil untuk memahami fakta keragaman yang sangat jujur ini.
Tentu uraian ini tak berarti sama sekali bila tujuan akhir dan tunggal di balik vonis terputusnya nasab Ubaidillah adalah menghapus eksistensi komunitas alawiyin, yang secara faktual menjadi bagian integral bangsa, dari sejarah masa lalu, masa kini dan masa depan Indonesia. Damailah Indonesia.
ML3052023