Tanpa menutup mata terhadap adanya beberapa elemen islsmis garis keras di paslon-paslon lain, mungkin sebagian besar para anasir “garis keras” dan pengikutnya terpaksa menjadikan salah paslon sebagai cantolan, karena tidak punya wadah politk yang kuat dan tidak punya legitimasi politk yang cukup,
Karena sejak semula menganggap intoleransi (penafian pihak lain yang tak sepaham) sebagai bukti komitmen keagamaan, kelompok ini memilih cara berkampanye yang tidak selaras dengan metode dan gaya tim sukses resmi paslon seraya tetap membangun narasi kampanye bermuatan intoleransi dalam berbagai even kampanye dan platform sosial media.
Tindakan ini justu bisa kontraproduktif, bila tim sukses tidak segera melakukan antisipasi, meski capres yang dicantoli telah dikawal oleh kekuatan politik nasionalis-sekular dan kekuatan relijus nasionalis pemegang kuasa elektoral yang tidak akan mengakomodasi kelompok itu.
Kekuatan politik lain dalam koalisi sang capres yang sebelumnya dianggap terasosiasi kepada islamisme garis keras, pun nampaknua tidak mengakomodasi kelompok intoleran ini setelah terbukti melakukan transfotmasi ideologis dan mereduksi elemen-elemen eksklusifnya demi menghadirkan diri sebagai kekuatan politik bercirikan Islam yang lebih moderat, adaptif dan inklusif.
Apapun keyakinan anda posisikan diri anda di negara yang tak berdiri di atas satu keyakinan ini sebagai warga negara yang mempunyai setara dengan sesama warga negara.
Dalam negara yang dibangun di atas Pancasila, UUD dan demokrasi, tak perlu menyertakan keyakinan personal dan komunal anda agar tak tersandera oleh mindset primordialisme dan tercengkram oleh asa “inscure” dalam melihat dinanika politik. Enjoy your right!
ML05022023