Menjelang hajatan demokrasi 2024 pada pemilu langsung pileg dan pilpres keluarlah keputusan Mahkamah Konstitusi yang kontraversial tentang boleh tidaknya warga negara yang belum berusia 40 tahun mencalonkan sebagai Wakil Presiden telah dikabulkan permohonannya dari pemohon bernama Almas Tsaqibbirru dengan nomor keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan MK ‘90’ yang kontroversial telah menjadi “lampu hijau” bagi Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden (cawapres) “dinilai” berdampak baik menciptakan kesempatan bagi politisi muda. Padahal putusan tersebut perlu ditelaah lebih cermat dan sama sekali tidak mengakomodir anak muda.
Kalau prosesnya betul-betul organik tidak masalah dan bertahap, maka kita bisa terima bahwa pencalonan seorang calon Wakil Presiden kemarin, misalnya, akibatnya itu tidak seperti yang kita rasakan seperti ini, begitu terasa bahwa prosesnya tidak organik.
Merujuk pada Survei Litbang Kompas, bahwa referensi usia muda dianggap efektif untuk mendulang suara. Sayangnya survei tersebut menyebut berkebalikan. Angkanya hanya 1,1 persen terkait alasan orang muda memilih karena usia. Artinya, jika pencalonan Gibran dinilai sebagai sosok representatif orang muda, tidak signifikan. Anak muda itu rasional. Apa yang dipertontonkan sekarang justru menampilkan wajah sosoknya muda, packaging-nya muda, tapi mendukung politik status quo dengan cara-cara tidak etis dan tidak organik, sangat tua dan anti demokrasi.
Yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut keputusan MK 90 itu adalah telah terjadi politisasi hukum dan pelanggaran etik berat dalam prosesenya juga tak bisa diabaikan terbelahnya pendapat Hakim. Empat Hakim menyatakan disenting opinion dan dua Hakim concuring opinion. Prof, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa keputusan MK 90 itu sangat probloematik, cacat hukum dan etika dan telah terjadi penyelundupan hukum. Demikian pendapat Prof.Yusril Iza Mahendra beliau nyatakan sebelum menjadi Ketua Tim Kuasa Hukum Paslon 02.
Miris dan prihatin memang melihat hukum telah dikooptasi dan dijalankan menurut selera penguasa bahkan para pakar hukum telah melacurkan intelektualitasnya. Aib terbesar demokrasi adalah ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, lembaga Yudikatif dijadikan stempel penguasa dan dijadikan kepentingan politik sesat.
Tugas dan tanggung-jawab civil soceity dan insan hukum adalah terus berjuang mengembalikan marwah hukum negeri ini sesuai perintah konstitusi Indonesia adalah sebagai negara hukum artinya hukum sebagai pedoman dan panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan bukan seperti sekarang ini telah menjelma menjadi negara kekuasaan.
MASALAH ETIKA DAN FILSAFAT HUKUM
Bagaimana hubungan antara filsafat dan etika?
Etika merupakan cabang dari Filsafat terutama yang membahas mengenai perilaku manusia. Sebagai cabang dari filsafat, etika merupakan proses berpikir mengenai penilaian baik buruknya perilaku manusia (filsafat tingkah laku) beserta persoalan-persoalan dan pembenaran-pembenarannya.
Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan.
Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).
PELANGGARAN ETIK DAN PENEGAKKAN ETIK
Di negara yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah daripada jabatan semata.
Namun, konteks ini belum terjadi di Indonesia. Seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak berpengaruh pada seberat apa pun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti.
Sekali lagi, kasus yang paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang menimpa Ketua MK, Anwar Usman. Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansial sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada derajat kemanusiaannya.
MENYELAMATKAN NEGARA HUKUM
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah potret buruknya pelaksanaan hukum dari politisasi hukum yang justru akibat ulah oknum Hakim Konstitusi yang seharusnya melindungi konstitusi. Upaya terakhir masih dapat dilakukan karena adanya cacat formil serius pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
KEJANGGALAN
Putusan setebal 122 halaman itu terdiri dari 34 halaman yang berisi dissenting opinion dari 4 orang Hakim Konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Jumlah halaman itu memenuhi sekitar 27,87% tebal putusan. Menariknya 4 orang Hakim Konstitusi tersebut memiliki pandangan yang tidak mungkin diseragamkan.
Suhartoyo misalnya, menilai Pemohon tidak memiliki kepentingan dan kerugian konstitusional sehingga Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kemudian Wahiduddin yang sejak Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 51/PUU-XXI/2023 dan No. 55/PUU-XXI/2023 bersikukuh bahwa penentuan batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah kewenangan pembentuk undang-undang.
Sementara Arief mempersoalkan kuasa hukum Pemohon yang melakukan penarikan permohonan tanpa persetujuan dari Pemohon adalah bentuk ketidakprofesionalan dan terkesan mempermainkan marwah MK. Ia juga menilai adanya ketidakpatutan atas kehadiran Anwar Usman dalam RPH karena perkara menyangkut kepentingan keponakannya.
Paling menarik adalah dissenting opinion Saldi yang lebih berupa paparan atas kronologi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Ia menilai setidaknya ada dua misteri, yakni penarikan permohonan dan berubahnya pendirian Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh dan Manahan M.P. Sitompul. Ketiga Hakim Konstitusi tersebut dua hari sebelumnya, pada RPH Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 51/PUU-XXI/2023 dan No. 55/PUU-XXI/2023, sepakat bahwa penentuan batas usia Capres dan Cawapres adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Namun kehadiran Anwar pada RPH Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 mengakibatkan Enny, Daniel dan Manahan mengikuti pandangan Anwar dan Guntur, meski dengan sedikit modifikasi. Enny dan Daniel menilai bahwa pengecualian usia minimal 40 tahun harus dipadankan dengan pengalaman sebagai Gubernur. Terutama Enny yang menilai persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang, artinya isu batas usia belum selesai dengan putusan MK.
Sedangkan Anwar, Guntur dan Manahan sepakat memadankan usia minimal 40 tahun dengan elected official, di mana cakupan jabatannya lebih luas dibanding padanan yang diajukan Enny dan Daniel. Artinya, Anwar, Guntur dan Manahan memasukkan semua jabatan, yang diduduki melalui mekanisme pemilu. Jabatan itu mencakup Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota sebagai padanan usia minimal 40 tahun.
Di sinilah terjadi kerancuan, amar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 justru mengakomodir pandangan Anwar, Guntur dan Manahan yang maknanya mencakup semua jabatan yang diperoleh melalui pemilu, termasuk pilkada. Padahal pandangan itu hanya diwakili oleh 3 orang Hakim Konstitusi. Sehingga bila dicarah, komposisi argumentasi Hakim Konstitusi menjadi 3:2:2:1:1. Dengan kata lain, amar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak berasal dari pandangan mayoritas Hakim Konstitusi. Artinya perkara konstitusionalitas batas usia Capres dan Cawapres masih prematur untuk diputus karena tidak memenuhi syarat mayoritas suara sebagaimana ketentuan Pasal 45 Ayat (8) UU MK. Di sinilah cacat formil itu.
TAP MPR tentang Etika Berbangsa Masih Berlaku
Ingat! TAP MPR tentang etika berbangsa dan bernegara masih berlaku meskipun belum Ada Keputusan Pengadilan
Pasal 3 TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam kehidupan berbangsa’.
Etika Politik dan Pemerintahan
Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Misinya adalah agar setiap pejabat publik dan elit politik bersikap jujur, amanah, sportif dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan.
Ethics are the foundation for the rule of law, or the body of rules, policies, and programs that guide and govern a society in order to best protect that society. Etika adalah fondasi supremasi hukum, atau kumpulan aturan, kebijakan, dan program yang memandu dan mengatur suatu masyarakat untuk melindungi masyarakat tersebut dengan sebaik-baiknya. Karena etika adalah pondasinya hukum dan di dalam etika ada azas kepatutan dan common sense atau nalar wajar.
Walaupun keputusan Mahkamah Kointitusi bersifat final dan mengikat tetapi sikap kritis dan kajian dari kelangan kampus sebagai agent of change selalu diperlukan. Seperti dalam proses pembentukan undang-undang selalu harus menyertakan naskah akedemik yaitu sentuhan teknokratik sentuhan keilmuan. Diperlukan naskah akedemik sebagai landasan teori agar dalam prakteknya tidak menyimpang jauh.
Sistem rekrtumen majelis hakim juga perlu ditinjau kembali agar tidak sarat dengan benturan kepentingan atau conflict of interest. Sekarang ini dari sembikan hakim MK komposisinya adalah tiga rekomendasi legislatif, tiga orang rekomendasi Presiden dan tiga orang rekomendasi Mahkamah Agung. Kedepan barangkali bisa dengan sistem pembentukan panitia seleksi independen sehingga netralitas dan independensi para hakim MK tetap terjaga.
ZA 05062024