Husein Alkaff
Ada semacam kerancuan pada sebagian kalangan dalam memahami makna “Sayyid” dan “Arab” sebagai sebuah entitas, baik dalam bentuk person, golongan maupun bangsa. Secara definitif dua entitas ini berbeda, meskipun secara faktual terkadang keduanya menyatu dalam diri seseorang dan golongan.
1. Sayyid dan Bangsa* Kata “Sayyid” oleh sebagian Umat Islam digunakan untuk orang yang mempunyai garis keturunan hingga Nabi Muhammad saw. Sebagai sebuah entitas, Sayyid mempunyai kemuliaan dari sisi nasab atau genetik, karena dia berkaitan dengan pribadi yang agung dan mulia. Kemuliaan ini merupakan kemuliaan “ikutan” (bittaba’) bukan kemuliaan sejati _(bil ashl)_. Para sayyid tersebar di hampir seluruh pelosok dunia, dan mereka akan tetap ada hingga hari Kiamat. Kehadiran mereka merupakan hadiah dari Allah swt. untuk Nabi Muhammad saw., sebagaimana dijelaskan dalam sebab turunnya surat al Kawtsar.
Mereka patut berbangga menjadi keturunan Nabi saw., sebagaimana setiap orang juga boleh berbangga dengan asal usulnya, bahkan sejatinya setiap orang boleh berbangga sebagai manusia. Berbangga dengan asal usul dibolehkan selama tidak merendahkan asal usul yang lain. Kehadiran para sayyid sebagai sebuah entitas, bukan orang per orang, di sebuah negeri Islam mendatangkan keberkahan dan kebaikan tersendiri bagi penduduk negeri itu. Secara khusus, kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke sejak beberapa abad silam beruntung menjadi tempat tinggal mereka. Sementara istilah bangsa, menurut sebuah keterangan, ” Mengandung dua pengertian, yaitu bangsa dalam konteks geneologis-antropologis dan bangsa dalam dalam konteks politik. ”
a. Bangsa dalam konteks geneologis-antropologis adalah sekelompok orang yang mempunyai kesatuan asal turunan, bahasa, yang diikat atas dasar persamaan darah atau gen yang mendiami suatu kawasan atau daerah tertentu.
b. Bangsa dalam konteks politik merupakan sekelompok orang yang rasa dan ikatan kesatuannya berdasarkan pada kesamaan cita-cita, tujuan, nasib sehingga mendorong mereka untuk hidup bersama dalam wilayah tertentu demi kelangsungan hidup dan eksistensi mereka. Sekelompok masyarakat atau orang bisa dikatakan sebagai sebuah bangsa ketika memenuhi unsur-unsur berikut ini_memiliki asal-usul dalam sejarah bersama dalam suatu bentuk ikatan atau sentimen kolektif memiliki bahasa, struktur sosial, dan sistem politik yang dikehendaki_ _adanya wilayah sebagai ruang hidup tempat bermukim dan mencari nafkah bagi kelangsungan hidup memiliki dan menunjukkan identitas kolektif yang menjadi atribut sebuah budaya sehingga dapat membedakannya dengan bangsa lain.”
Melihat penjelasan di atas, maka makna bangsa yang kedua lebih relevan dengan kondisi sekarang ini, karena bisa dikatakan tidak ada sebuah bangsa yang seluruh individunya diikat atas dasar persamaan darah atau gen. Masyarakat Indonesia, misalnya, jika ditelusuri asal usul mereka, maka mereka terdiri dari berbagai etnis dan gen.
2. Nabi Muhammad saw. Orang Arab* Tidak ada satu orang pun yang mengingkari bahwa Nabi Muhammad saw. adalah orang Arab, karena beliau lahir, tinggal dan wafat di negeri Arab (jazirah ‘Arabiyah) serta berbicara dengan Bahasa Arab. Meskipun secata genetik, asal usul beliau dari Nabi Ibrahim as., dan Nabi Ibrahim as. sendiri bukan orang Arab. Pada zaman Nabi Ibrahim as. sudah ada bangsa Arab, dan istri beliau yang bernama Hajar adalah orang Arab dari kabilah Jurhum, pecahan dari Bangsa Arab ‘Aribah _(Bani Qahthan)_. Dari Hajar ini lahir lah Nabi Ismail as. yang kemudian keturunannya yang menetap di negeri Arab disebut dengan Arab Musta’rabah, yang berarti orang-orang yang menetap di negeri Arab tapi bukan berasal dari gen Arab.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim as. juga berbangsa Arab, namun pendapat ini mudah untuk dibantah, karena jika beliau adalah orang Arab, maka keturunan beliau dari jalur Nabi Ishak as. juga berbangsa Arab sehingga, pada gilirannya, Bani Israel (keturunan Nabi Ya’kub-Israel putra Nabi Ishak as) juga bangsa Arab. Pendapat ini jelas bertentangan dengan realita yang aksiomatis. Berdasarkan realita tersebut, maka sebab musabbab Nabi Muhammad saw. dikatakan sebagai orang Arab adalah karena beliau lahir, tinggal dan wafat di negeri Arab serta berbicara dengan Bahasa Arab. Kalau kebangsaan beliau itu berdasarkan asal usul dan gen beliau, maka beliau bukan orang Arab karena leluhur beliau, yakni Nabi Ibrahim as. bukan orang Arab. Dengan demikian, yang menjadikan seseorang itu dikaitkan dengan sebuah bangsa bukan karena asal usulnya atau genetiknya, tetapi karena merujuk pada tempat lahir dan tinggal serta bahasa yang digunakan di lingkungannya. Karena itu, siapapun yang lahir dan hidup di Indonesia serta berbicara dengan Bahasa Indonesia, maka dia adalah orang Indonesia atau berbangsa Indonesia meskipun asal usulnya atau gennya dari luar Indonesia, sebagaimana halnya siapapun yang lahir dan hidup di negara Arab serta berbicara dengan Bahasa Arab, maka dia adalah orang Arab seperti Nabi Muhammad saw. yang leluhurnya bukan Bangsa Arab.
3. Nabi saw. Mulia Karena Beliau Orang Arab atau Bangsa Arab Mulia Karena Nabi saw.?* Semua Kaum Muslimin sepakat bahwa Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling mulia sepanjang sejarah manusia, dari Adam sampai hari Kiamat. Kemuliaan beliau terutama dikarenakan karakter atau sifat kenabiannya. Sebelum itu, leluhur beliau juga dikenal sebagai orang-orang yang mulia di tengah Bangsa Arab karena mereka bernasab kepada Nabi Ismail as. bin Nabi Ibrahim yang non-Arab. Sedangkan Bangsa Arab sama dengan bangsa lainnya. Setiap bangsa memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang lugas dan dermawan, Bangsa Indonesia terkenal dengan bangsa yang rendah hati dan sopan, Bangsa Persia terkenal dengan keuletan dan ketangguhannya. Demikian pula bangsa lainnya. Dengan demikian Bangsa Arab tidak memiliki kelebihan secara khusus. Kalau pun kelebihan khusus itu ada sehingga mereka menjadi lebih mulia, maka kemuliaan itu karena sosok Nabi Muhammad saw. yang pernah berada di tengah mereka. Seandainya beliau bukan Orang Arab, maka Bangsa Arab tidak lebih dan tidak kurang dari bangsa lainnya. Tentang sebab kemuliaan Bangsa Arab, Ibnu Rumi berkata: وَكَمْ أَبٍ قَدْ عَلاَ باِبْنٍ ذُراَ شَرَفٍ # كَمَا عَلاَ بِرَسُوْلِ اللهِ عَدْنَانُ _“Betapa banyak ayah menjadi mulia karena anaknya yang mulia sebagaimana Adnan (leluhur Nabi saw) menjadi mulia karena Rasulullah”_. Begitu tingginya kemuliaan Nabi Muhammad saw. sehingga siapapun atau apapun yang berkaitan dengan beliau menjadi mulia. Nasab para sayyid mulia karena nasab mereka bersambung dengan beliau, Bangsa Arab menjadi mulia karena beliau berbangsa Arab, Umat Islam lebih mulia dari pada umat yang lain karena mereka umat beliau , kota Madinah menadi mulia karena jasad beliau bersemayam di sana dan lain sebagainya. Jadi sesungguhnya pemilik kemuliaan yang sejati _(bil ashl_) adalah Nabi Muhammad saw. yang telah berhasil memanifastasikan sifat-sifat Allah swt. yang mulia, bukan mereka. Kemuliaan para sayyid, Bangsa Arab, Umat Islam dan kota Medinah tersebut hanya bersifat ikutan _(bittaba’)_. Mereka bisa memiiki kemuliaan yang sejati ketika mereka mengikuti akhlak dan ajaran Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, kemuliaan yang sejati di sisi Allah dapat dicapai melalui taqwa.
4. Para Sayyid Memiliki Kemulian Nasab Yang Sama* Kemuliaan nasab para sayyid berasal dari kemuliaan Nabi Muhammad saw., dan kemuliaan Nabi Muhammad saw. berasal dari karakter dan sifat kenabian beliau, bukan karena kebangsaan beliau. Karena itu, para sayyid yang tersebar di berbagai bangsa; Indonesia, Arab, Persia, India, Cina, Afrika dan lainnya mempunyai kemuliaan nasab yang sama. Meski mereka berbeda bangsa, namun mereka sama-sama memiliki nasab yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Secara umum, leluhur para sayyid di Indonesia berasal dari Arab-Yaman, dan para sayyid yang lahir dan hidup di Indonesia sudah menjagi bagian secara inheren dari Bangsa Indonesia. Sungguh sangat menggelikan kalau mereka masih merasa sebagai Bangsa Arab, sebagaimana sangat menjijikan kalau mereka dianggap oleh yang lain sebagai pendatang. Sebagian para Sayyid dan non Sayyid yang berketurunan Arab-Yaman masih mempertahankan tradisi dan budaya leluhur mereka, dan itu sah-sah saja. Sebagaimana halnya, kelompok lain sah-sah saja melestarikan tradisi dan budaya leluhurnya, seperti suku Sunda, suku Jawa, suku Batak, etnis Cina dan lainnya.
Jadi ketika keturunan Arab-Yaman berbangsa Indonesia bukan berarti mereka harus meninggalkan tradisi dan budaya leluhur mereka, justru ketika mereka mempertahankannnya, maka akan memperkaya tradisi dan budaya Bangsa Indonesia. Salah satu keunikan Bangsa Indonesia adalah kekayaan tradisi dan budayanya yang beragam. kekayaan tradisi dan budaya ini berasal dari keragaman suku dan etnisnya. Karena itu, segala kekayaan dan keragaman di tengah mereka sejalan dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Siapakah Bangsa Yaman? :
Zaman Dulu, Sekarang dan Akan Datang (1)
🖋️ Husein Alkaff
Dalam literatur sejarah Islam dan sejarah Bangsa Arab, Bangsa Yaman sangat familiar dan terkenal. Dalam buku-buku sejarah Bangsa Arab misalnya, mereka dikenal sebagai asal usul Bangsa Arab dan mereka biasa disebut dengan Arab Aqhaah– اقحاح (Bangsa Arab yang murni).
Dari sejak zaman dahulu, mereka dikenal sebagai petani dan ahli bangunan yang terbuat dari tanah liat. Salah satu karya mereka yang monumental adalah Bendungan Ma’rib. Konon, bendungan besar itu mampu mengairi kebun-kebun kurma di seantero Yaman.
Ketika Islam datang, Bangsa Yaman mengambil bagian yang sangat menentukan bagi kemajuan Islam bersama Nabi Muhammad saw. Misalnya, asal tahu saja, suku Aus dan suku Khazraj yang tinggal di Medinah (baca: Yatsrib) berasal dari Yaman. Islam diterima oleh mereka dengan damai dan sukarela. Mereka lah kaum Muslim yang pertama kali berbay’at (menyatakan sumpah setia) kepada Nabi saw. Kemudian ketika Nabi saw. hijrah ke Medinah, mereka menjadi pembela Nabi Muhammad saw. (Anshar). Kesetiaan mereka dibuktikan dengan memberikan tanah kepada beliau dan menyerahkan sebagian harta mereka untuk kaum Muhajirin. Berkenaan dengan kesetiaan mereka ini, Al Qur’an menjelaskan,
” Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada Muhajirin; dan mereka mengutamakan Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”(Al Hasyr 09)
Kaum Anshar yang berasal dari Yaman itu begitu cinta kepada Nabi saw., dan beliau pun sangat sayang kepada mereka. Hubungan kasih sayang itu tampak jelas dalam peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah) pada tahun 10 hijriah. Diceritakan bahwa ketika kota Mekah berhasil dibebaskan dari kemusyrikan yang kemudian disusul dengan masuknya beberapa tokoh Quraisy dan kabilah Arab pada agaka Islam dengan berbondong-bondong, kaum Anshar dengan rasa khawatir dan cemas berkata kepada sesama mereka bahwa Nabi saw. akan menetap di kampung halamannya dan tidak akan kembali lagi ke Medinah bersama mereka. Nabi saw. memahami kehkawatiran mereka itu lalu beliau bersabda kepada mereka, ” Aku hamba Allah dan utusanNya. Aku berhijrah kepada Allah dan kepada kalian. Tempat hidupku tempat kalian dan tempat matiku tempat kalian juga“.
Setelah mendengarkan ucapan itu, Kaum Anshar menghadap Nabi saw. sambil menangis dan berkata, “ Ya Rasulullah, kami tidak mengatakan apa yang kami katakan itu kecuali kami tidak ingin berpisah dengan Allah dan RasulNya“
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dalam peristiwa itu Nabi saw. membagi-bagi harta kepada orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam, lalu beliau memanggil sejumlah orang Anshar dan bersabda, “ Sesungguhnya kaum Quraisy ini baru meninggalkan jahiliyyah dan aku ingin menarik mereka. Tidakkah kalian suka jika mereka mendapatkan dunia sedangkan kalian kembali bersama Rasulullah saw. ke rumah kalian?“. Lalu beliau melanjutkan, ” Seandainya umat manusia pergi ke sebuah lembah dan kaum Anshar ke lembah yang lain, maka aku akan pergi bersama Anshar“
Dalam kesempatan lain, Nabi saw. bersabda tentang Kaum Anshar, “Hai Anshar, sesungguhnya Allah swt. telah memasukan iman pada hati kalian dan memuliakan kalian serta menyebut kalian sebagai para pembela Allah (Ansharullah)”.
Banyak lagi pujian Nabi saw. untuk kaum Anshar.
Selain Kaum Anshar yang berasal dari Yaman itu, orang-orang Yaman yang berada di negeri mereka sendiri menerima Islam dengan damai sebagaimana saudara mereka di Medinah. Menurut sebagian riwayat bahwa pada mulanya Nabi saw. mengutus Khalid bin Al Walid ke Yaman untuk mengajak penduduknya ke Islam, namun Khalid gagal meng-islamkan mereka. Lalu Nabi saw. mengutus Imam Ali bin Abi Thalib as. dan akhirnya mereka menerima Islam di tangan Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan damai dan sukarela, khususnya Bani Hamdan.
Sejak itu, utusan-utusan dari berbagai kabilah Yaman datang ke Medinah untuk masuk Islam. Dalam menyambut kedatangan mereka, Nabi saw. mengatakan, “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman. Mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya dan halus jiwanya. Iman Yaman dan hikmah Yamaniah“.
Sabda Nabi saw. ini menggambarkan betapa baiknya hati orang-orang Yaman. Sejarah juga membuktikan kebenaran sabda beliau itu. Mereka terkenal sebagai bangsa yang setia, jujur, berempati, berani dan memiliki harga diri yang tinggi. Benar bahwa setelah Nabi saw. wafat ada beberapa kabilah Yaman yang murtad karena terpengaruh oleh ajakan al ‘Ansi yang mengaku sebagai nabi.
Menurut pendapat sebagian kalangan, banyak dari kabilah Yaman yang tidak mengakui otoritas yang berkuasa di Medinah semata-mata karena kecintaan mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. yang telah berjasa mengenalkan Islam kepada mereka.