Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi,” tulis Menag Yaqut Kholil di akun resmi instagramnya Minggu.
Semirip dengan paragraf di atas adalah yang ditulis oleh media lain, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengklaim, kebijakan label halal yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama tidak lagi milik Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bagi kalangan tertentu yang kecewa dan kritis terhadap MUI keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil ini tepat. Kalangan yang mewakili status quo terlihat keberatan sambil mencari-cari celah dengan mempersoalkan logo baru label halal.
Seolah semua masalah dari yang paling berat hingga paling ringan sudah terselesaikan. Yang tersisa hanya logo halal. Rabun prioritas stadium 1 : heboh soal logo halal tapi tak kritisi relevansi pelabelan halal.
Terlepas dari itu, melekatkan predikat hukum halal dan haram atas sebuah subjek universal merupakan wewenang ahli (yang nyata kompeten) hukum atau faqih, seperti predikasi haram dimakan atas semua daging kambing yang ditusuk. Proses ini disebut istinbath, dan produk universalnya disebut fatwa.
Memverifikasi subjek personal dan parsial dalam proposisi “daging kambing yang tidak disembelih dengan syariat Islam adalah haram dimakan” yang difatwakan oleh faqih, seperti apakah daging kambing tertentu yang disuguhkan pada waktu dan di tempat tertentu itu halal atau haram dimakan, merupakan tugas (taklif) individu yang disuguhi. Proses ini disebut taskhish al-maudhu al-hukm” (identifikasi subjek hukum haram yang menjdi predikatnya).
Pertanyaannya :
- Apakah pelabelan halal pada pada sejumlah barang dengan merek tertentu adalah produk istinbath alias fatwa sebagai hukum universal? Apakah pelabelan halal ini hanya dilakukan para faqih? Apakah sebutan ulama dalam organisasi MUI semakna dengan fuqaha? Lalu apa kriteria-kriteria kompetensinya? Apakah faqih menurut standar sebuah kelompok juga faqih menurut kelompok lain? Bagaimana proses instinbath dan penyimpulan fatwa seorang atau beberapa orang yang mengaku atau dianggap ulama bisa berlaku atas setiap Muslim?
- Ataukah pelabelan halal pada pada sejumlah barang dengan merek tertentu adalah hasil tasykhish (verifikasi) individu mukallaf baik faqih maupun awam dalam menerapkan hukum atas setiap subjek satu demi satu yang selalu dikonsumsi dan terus diproduksi? Apakah pelabelan halal ini hanya dilakukan setiap individu Muslim?
- Apakah pelabelan halal pada sejumlah barang dengan merek tertentu ditetapkan secara universal atas sebuah merek dagang tertentu yang berlaku secara merata atas setiap barang semereknya lainnya yang diproduksi meski tak diverifikasi? Bagaimana memastikan produk-produk semerek yang tak diverifikasi itu sebagai halal?
- Ataukah pelabelan halal pada sejumlah barang dengan merek tertentu hanya berlaku atas satu demi satu barang dengan merek tertentu itu sebagai produk tasykhis individu? Apakah Setiap kaleng susu, misalnya, harus dicek kehalalan kandungannya atau setiap sajian makanan di restoran harus dicek dulu sebelum ditetapkan halal? Betapa repotnya!
Dengan memperhatikan beberapa pertanyaan di atas, secara faktual, pelabelan halal oleh siapapun adalah sesuatu yang problematik dan kompleks
Awam yang mengutamakan fikih rasional tidak menunggu label halal untuk setiap benda yang dimakan dan diminum karena memegangi prinsip “fundamentalitas halal” yang secara disarikan dari keputusan syar’i Imam Ja’far Sadiq, “Segala sesuatu bagimu adalah halal kecuali (sampai) kamu mengetahuinya haram secara pasti.” Dengan kata lain, pengharaman adalah pengecualian yang disingkap dengan dalil yang kuat melalui sebuah proses istidlal dan istinbath yang memerlukan kompetensi khusus.
Karena mulanya segala sesuatu adalah halal kecuali benda-benda yang diketahui keharamannya berdasarkan dalil tekstual yang kuat, maka justru label haram lebih relevan ditempelkan pada benda-benda tertentu yang diketahui haram, bukan label halal. Tentu biaya yang dikeluar lebih sedikit, dan peluang kapitalisasi dan korupsi juga lebih kecil.
Ini juga memahamkan bahwa keraguan tidak tidak dapat dijadikan dasar general untuk menggeser kehalalan primer sebuah benda yang dimakan, diminum dan dipakai.
ML 17032022