INDONESIA TODAY ONLINE-Dunia geger. Seorang insinyur dan pilot muda tentara AS (yang konon berdarah Yahxdi) melakukan sebuah tindakan ekstrem.
Dia membakar tubuhnya. Membakar tubuh tidaklah sama dengan aksi menembak kepala dan dada sendiri bahkan gantung leher karena pelaku merasakan kepedihan luar biasa. Itu bisa dibandingkan dengan pedih saat jari atau bagian kecil tubuh kita yang terkena percikan api atau luka bakar.
Umumnya masyarakat Barat yang menganut materialisme menolak adanya entitas immaterial dan tak membedakan makna raga atau body dengan jiwa atau soul. Keduanya dianggap sebagai dua kata semaka atau sinonim. Karena itulah, seseorang disebut somebody, siapapun disebut anybody, tak ada siapapun disebut nobody dan teman akrab juga disapa body atau buddy.
Sebagian dari mereka tetap membedakan kedua kata tersebut seraya merevisi makna soul atau psy. Dalam perkembangan sains modern, kafa psy psikologi atau psycologhy yang semula bermakna jiwa sebagai sebutan untuk entitas immaterial di balik raga kini hanyalah nama ilmu yang mempelajari perilaku individu atau masyarakat berupa gerak fisik, memori dan syaraf dalam tubuhnya. Artinya, jiwa atau psy atau psike digunakan untuk menunjuk perilaku (behavior) manusia yang digerakkan oleh syaraf dalam tubuhnya.
Atas dasar mindset ini, banyak orang menyebut aksi menyiramkan bensin ke tubuh sendiri dan menyalakan api di atasnya dengan kata “membakar diri”.
Bagi masyarakat yang mempercayai prinsip dualitas dan pluralitas eksistensi juga gradualitas eksistensi, raga adalah lapis terlemah dan terendah dalam hierarki wujud dan struktur substansi, sedangkan jiwa yang dalam terminologi filsafat metafisika disebut nafs merupakan lapis kedua atau substansi interval yang menjadi penghubung antara raga sebagai substansi terendah dan intelek atau aql sebagai substansi tertinggi.
Karena berposisi sebagai pengubung antara yang kompleks dan yang simpel itulah jiwa didefinisikan sebagai substansi yang mempunyai dua karakteristik, sederhana secara esensial dan canggih secara aktual. Artinya, jiwa adalah substansi simpel yang melakukan aktivitas dalam substansi kompleks alias raga atau tubuh.
Tubuh sendiri dalam khazanah metafisika bukan hanya kata untuk benda berdaging dan bertulang semata namun ia adalah terma bagi setiap entitas yang meruang dan mewaktu alias benda yang mengisi tiga dimensi. Dalam konteks ini, raga atau tubuh yang disebut jism dalam bahasa Arab adalah sebutan filofofis bagi setiap substansi konkret yang merupakan komplikasi hyle (hayula) dan morph (shurah).
Merujuk kepada khazanah metafisika yang diafirmasi oleh seluruh agama, kata yang tepat adalah aksi bakar tubuh, bukan aksi bakar diri, karena cairan bakar dan api sebagai dua benda hanya menjangkau benda, dan tidak mengenai jiwa yang tak berada dalam hukum benda atau fisika.
Banyak pula orang menganggap menganggap aksi bakar diri sebagai bunuh diri yang hanya dilakukan oleh orang tak waras.
Menyamakan aksi membakar tubuh sendiri tanpa rencana merugikan siapapun dengan aksi meledakkan tubuh di sebuah tempat ibadah yang penuh pelaku ibadah juga gantung diri karena stress didasarkan atas pandangan materialisme yang menetapkan bernapas sebagai kehidupan sedangkan tak bernapas sebagai kematian.
Pandangan materialisme didasarkan pada epistemologi empirisisme, positivisme dan pragmatisme yang tidak menganggap idealisme dan motif empati kemanusiaan sebagai elemen penting dalam setiap tindakan. Membakar diri apapun tujuannya, bagi pengiman materialisme adalah tindakan bodoh.
Dalam pandangan kontra materialisme, aksi membakar tubuh sendiri demi memprotes tindakan mencabut hak hidup banyak orang tidaklah sama dengan aksi meledakkan diri dengan tujuan menciptakan kematian dan melukai banyak orang yang dianggap sebagai musuh karena tak sekeyakinan.
Membakar diri di depan gedung perwakilan otoritas sebuah rezim anti kemanusiaan mempunyai tiga sasaran sekaligus, yaitu ;
1. Menyadarkan publik senegara untuk memprotes Pemerintah AS. Aksi patrotik ini adalah edukasi efektif karena dilakukan oleh pemuda berusia 25 tahun yang punya kesempatan melanjutkan karirnya sebagai seorang insinyur, pilot dan tentara.
2. Menyadarkan publik dunia tentang kejahatan kemanusiaan dan genosida sebuah rezim rasis yang didukung secara terbuka oleh Barat dan secara tersembunyi atau diabaikan oleh sebagian besar penguasa di dunia Arab dan dunia Islam. Aksi humanis ini juga merupakan edukasi efektif untuk warga dunia, terutama bagi masyarakat Arab dan Muslim karena dilakukan secara ekstrem dan tidak biasa oleh orang yang tidak punya ikatan primordial keyakinan dan etnisitas.
3. Membebaskan diri dari beban moral dan mental “guilty feeling” sebagai tentara dalam institusi negara yang punya saham terbesar dalam kerusakan di planet bumi, terutama di Palestina, dan sebagai manusia waras yang bisa merasakan derita para bayi, perempuan dan masyarakat sipil di Gaza.
Dia melakukan aksi bakar tubuh bukan lantaran putus cinta atau bangkrut dililit hutang, bukan karena tak tahan menanggung malu dan aib akibat skandal, juga bukan karena kehilangan kendali atas akal, apalagi karena terdorong oleh doktrin jihat meledakkan masjid “orang-orang sesat” demi merayakan pesta gila denga. 70 bidadari.
Dia juga tak melakukan aksi itu demi pencitraan atau keuntungan finansial (monetizing) dari engagement, trending topic dan populatitas karena dia tahu dia takkan menikmatinya bila kehilangan nyawa.
Dia dengan sadar menjalani kepedihan luar biasa demi mengingatkan warga dunia akan kejahatan spektakuler entitas iblis terhadap anak-anak, para wanita dan orang-orang tak seagama, tak seetnis, tak senegara dan tak sebudaya yang terkepung dan kelaparan dan dibantai di tempat yang jauh dari kampung halamannya.
Aksi humanis juga mistik ini adalah edukasi spektakuler bagi kalangan yang rajin berbicara agama tentang pengorbanan, kepahlawan dan martirdom sebagai fitur purifikasi, emanasi dan ejawantah kesadaran transendental.
Aaron Bushnell terlalu mewah buat para emir yang nongkrong di atas tengkorak para korban genosida juga mungkin buat kita.
MLÂ 280223