Belakangan ini beberapa orang, karena merespon dinamika politik dan sosial terutama yang dihubungkan dengan apa yang disebut dengan politik identitas ekstremisme agama yang -sayangnya- dilawan dengan narasi politik identitas rasisme, mulai mengangkat klaim “keaslian” demi menegaskan keunggulan atau hak yang lebih besar atas Indonesia.
Keaslian seolah menjadi dasar yang membenarkan dan menjustifikasi narasi rasisme dengan semua diksi negatif dan ujaran kebencian tanpa pilih dan pilah yang ditujukan sebagai serangan membabibuta terhadap satu kelompok etnis mulai dari menyuruhnya hengkang setelah memvonisnya sebagai pendatang hingga melecehkan asal usul seraya mendustakan semua kontribusi dan partisipasinya dalam membangun entitas majemuk bernama bangsa Indonesia.
Munculnya nama seseorang (yang pernah didukung oleh kelompok yang nyata mengeksploitasi simbol agama dalam pilkada DKI yang lalu menjadi pemicu) sebagai capres adalah pemicu lahirnya video-video dengan konten mulai dari kritik proporsional terhadap sepak terjang masa lalu capres itu hingga ujaran kebencian dan provokasi terhadap seluruh warga yang seetnis dengannya. Klaim keaslian pun mengemuka.
Ternyata “asli” tidaklah asli sebagai kata yang diserap dari bahasa lokal dan tidak diciptakan. Ternyata pula asal kata “asal” punya asal usul dan asal muasal dari luar teritori.
“Asli” adalah kata Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang asal muasalnya adalah bahasa suku dan daerah Melayu.
Dalam bahasa asalnya, asli adalah kata yang berasal dari kata asl (اصل) berarti pokok dan asli (اصلى) dengan tambahan huruf ya’ nisbah (terbaca i) lalu bermakna ajektiva yang mengubah nomina atau pronomina dan ditandai dengan kata yang dalam bahasa Indonesia dan al bahasa Inggris (origine menjadi original).
Arti asal “asli” dikembangkan untuk makna murni yang berarti tanpa campuran.
Lawan arti kata asli adalah palsu. Kata palsu sendiri tidaklah asli karena berasal dari kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Palsu dalam bahasa Arab bermakna kosong dan habis, pudar dan hilang yang dapat diartikan secara ringkas sebagai palsu. Dengan kata lain, palsu yang berarti tidak asli sendiri tidaklah asli dari bahasa Indonesia.
Bahasa Arab telah menjadi pemasok utama kosakata dalam bahasa Indonesia, sedemikian rupa sehingga ia pun tidak bisa diklaim sebagai milik satu suku, etnis dan daerah. Karena ia bukan lagi bahasa Melayu, meski bahan baku dan struktur gramatiknya adalah bahasa Melayu yang juga telah menyerap banyak kosakata Arab sebelum bahasa Indonesia dilahirkan dan ditetapkan sebagai bahasa bangsa atau bahasa nasional.
Bahasa nasional merupakan identitas terkuat sebuah bangsa melampaui kesukuan, kedaerahan dan etnisitas yang kini tidak bisa lagi dipandang sebagai entitas utuh dan otentik sebagai akibat asimilasi dan perkawinan lintas suku. Dengan kata lain, cermin utama kebangsaan dan kebanggaan kepada bangsa adalah penggunaan bahasa nasionalnya.
Namun karena setiap bahasa punya usia kelahiran dan sejarah pembentukan, terutama bahasa daerah dan suku, seperti Melayu, yang ditetapkan sebagai bahasa bangsa atau bahasa nasional, maka ia mesti menyerap aneka kosa kata tentang sejumlah fakta yang belum ternamakan dari bahasa suku dan daerah yang lebih tua juga bahasa di luar yang lebih tua, seperti Sansekerta, Latin dan Arab.
Warga asli Indonesia adalah setiap pemegang NIK yang berbahasa Indonesia dengan baik, bangga menggunakannya, mengimani keindonesiaan sebagai identitas kebangsaannya yang tertuang dalam Pancasila dan UUD tanpa menegasinya dengan identitas kesukuan, kedaerahan dan etnisitas dan keyakinan masing-masing.
Dengan semua warisan aneka budayanya, bangsa Indonesia adalah entitas modern yang dibentuk dan ditetapkan oleh fakta sejarah kemerdekaan, bukan oleh kehendak satu kelompok suku dan ras. Inilah Indonesia yang berdiri di atas kebhinnekaan suku, daerah dan ras sekaligus keekaan atau kesatuan bangsa, bahasa, tanah dan asas.
ML 22112022