INDONESIA TODAY ONLINE – Sebuah langkah yang telah ditorehkan dalam rekam jejak di era digitalisasi adalah sebuah keniscayaan dalam menilai sesuatu, rekam jejak pun punya data tahan yang tinggi terhadap gempuran hoax, fitnah dan adu-domba dan Forkom Alawiyyin telah mengisi rekam jejak itu dengan konsisten melawan setiap bentuk diskriminasi dan intoleransi.
Forkom Alawiyyin mengajak kepada semua khususnya kalangan muda untuk berani speak up dan turun tangan dalam membawa angin perubahan, perubahan menuju tata kelola Pemerintahan yang baik, perubahan menuju Civilization yang berkeadilan, perubahan dalam regulasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam, penguatan masyarakat sipil, penegakkan hukum, pendidikan dan lain-lain.
Forkom Alawiyyin bertekad ikut menyongsong dan menyukseskan perubahan itu sendiri yang ujungnya adalah partisipasi dalam pilpres 2024.
“Pilihlah pemimpin yang mengerti persoalan, baik dalam dan luar negeri, mengerti ekonomi dengan baik dan bisa mengendalikan oligarki bukan sebaliknya, ujarnya”.
Mengutip pendapat seorang seniman dan aktor terkenal Jerman abad 19:
Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”Lanjutnya…“Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”Begitu sindir Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).
Bernas dan tajam kritik sosial sang penyair. Kesadaran bernegara, yang dalam pemahaman klasik Aristotelian politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonnum commune).Sayangnya kesadaran seperti ini belum meluas dan mengakar dalam tradisi kita. Tak bisa dipungkiri masih cukup banyak segmen masyarakat kita yang alergi dengan politik.
Sikap alergi politik ini bisa dimengerti. Lantaran minimnya teladan baik dari para politisi itu sendiri. Gejala alergi politik ini mesti diakui sudah cukup akut (parah) dan kronis (menahun).Setelah alergi politik muncuk apatisme, sikap pasrah, terserah aja lah…emang gue pikirin? situasi jadi tambah parah dengan munculkan gejala oportunisme politik.
Kita yang buta politik atau tidak peduli pada urusan politik akan memperparah citra politik di Indonesia. Orang-orang yang tidak baik akan semakin berkembang pesat karena lemahnya dukungan pada orang-orang yang baik. Negara ini bukan hanya dikelola oleh pemerintah saja tetapi masyarakat juga berhak ikut andil. Dosa terbesar kita sebagai masyarakat adalah ketika membiarkan atau tidak peduli pada orang-orang tidak baik yang ingin berkuasa.
Diamnya kita pada suatu kebijakan yang salah akan membuat lebih banyak kekacauan yang ada. Sadar atau tidak sadar, kita bisa lebih jahat dari orang jahat karena kita mengetahui sebuah kesalahan tetapi membiarkannya.
Marilah turun tangan dan dukung orang-orang baik masuk dalam politik untuk tercipta kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.