Ba’alawi diam dan tak reaksioner adalah sikap terbaik
INDONESIA TODAY ONLINE– Gaduh nasab telah memasuki tahun kedua, semakin hari semakin bermunculan narasi kebencian dan SARA tentu ini fenomena yang harus disikapi dengan bijak agar toleransi dan kebangsaan kita tak terciderai dengan hal remeh-temeh seperti perihal nasab ini.
Ki Imaduddin Utsman dan kelompoknya menafikan nasab Ba’alawi tanpa mengerti ilmu nasab dan kurang memahami sejarah Alawiyyin secara memadai, dimana nasab Ba’alawi masyhur diakui para nasabah dunia ketersambungannya kepada Rasulullah saw tetapi pada saat yang sama mereka kelompok Ki Imad, Mogi dkk sibuk bagi-bagi sertifikat nasab Sayid dari lembaga naqobah online abal-abal yang katanya ada di Maroko, Jordan dan berbagai klaim dusta lainnya.
Berawal dari sakit hati, cemburu dan urusan personal sekarang sudah naik kelas menjadi ujaran kebencian dan provokasi permusuhan SARA.. Naudzubillah
Dua pernyataan Ki Imaduddin Utsman secara eksplisit yang membatalkan tesisnya sendiri dan motif penelitiannya bukan mencari kebenaran ilmiyah tetapi mencari pembenaran sepihak yang absurd destruktif.
1. Ki Imaduddin Utsman: “Saya kalau membuat tulisan lebih suka meletakkan kesimpulan di awal pembahasan”. (Framing, persepsi, stigmatisasi= non ilmiyah)
2. Ki Imaduddin Utsman: “Walaupun seluruh nasabah dunia menshohihkan nasab Ba’alawi Imaduddin Utsman tetap menolak dan membatalkan”dengan pernyataan ini selesai perdebatan ilmu karena tidak ilmiyah dan subyektif.
Ki Imaduddin Utsman telah membatalkan tesisnya sendiri dan menjadi sampah
Ketika menulis tesis, penting untuk menghindari framing, persepsi, dan stigmatisasi yang tidak ilmiah karena beberapa alasan utama:
1. Objektivitas:
Tesis akademik harus didasarkan pada data dan fakta objektif, bukan pada pendapat atau interpretasi subjektif. Framing, persepsi, dan stigmatisasi sering kali memperkenalkan bias yang dapat mengaburkan kebenaran dan keakuratan hasil penelitian.
2. Validitas dan Reliabilitas:
Penggunaan framing dan persepsi yang tidak ilmiah dapat merusak validitas dan reliabilitas penelitian. Validitas mengacu pada seberapa baik penelitian mengukur apa yang dimaksud untuk diukur, sedangkan reliabilitas mengacu pada konsistensi hasil. Bias dapat mempengaruhi kedua aspek ini secara negatif.
3. Etika Penelitian:
Etika dalam penelitian akademik menuntut peneliti untuk menghindari bias yang tidak semestinya dan untuk memperlakukan semua subjek penelitian dengan hormat dan tanpa prasangka. Stigmatisasi adalah bentuk pelanggaran etika yang dapat merugikan individu atau kelompok yang diteliti.
4. Kredibilitas Ilmiah:
Penelitian yang menunjukkan bias dan tidak mempertahankan standar objektivitas akan diragukan kredibilitasnya oleh komunitas akademik. Tesis yang ilmiah harus mampu mempertahankan integritas akademik dan mendapatkan kepercayaan dari pembaca dan penilai.
5. Pengaruh pada Hasil Penelitian:
Framing dan persepsi yang tidak ilmiah dapat mempengaruhi cara data dikumpulkan, dianalisis, dan disajikan. Ini bisa mengarahkan pada kesimpulan yang menyesatkan dan tidak akurat, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada aplikasi praktis dari penelitian tersebut.
Untuk menghindari framing, persepsi, dan stigmatisasi yang tidak ilmiah, peneliti harus:
– Menggunakan metode penelitian yang terstruktur dan objektif.
– Menyediakan bukti dan data yang jelas untuk mendukung setiap klaim.
– Menghindari bahasa yang bias atau emosional dalam penulisan.
– Menggunakan peer review dan kritik konstruktif untuk mengidentifikasi dan mengurangi bias.
Dengan menjaga standar-standar ini, tesis akan lebih mungkin menghasilkan kontribusi yang valid, dapat diandalkan, dan berharga bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Solusi :
Radikalisme dan intoleransi gerakan Ki Imaduddin Utsman dkk harus dihadapi dengan counter narasi tentang persatuan dan persaudaraan dalam frame kebangsaan
Barangkali ada sikap yang kurang bijak dari beberapa oknum Habib tapi pihak Ki Imad dkk membalasnya dengan cara melampau bahkan dengan anjuran kebencian, provokasi permusuhan SARA, fitnah dan adu-domba umat.
Sebagai counter narasi Ki Imaduddin dkk harus dihadapkan dengan narasi-narasi dalam frame kebangsaan, bahwa masing-masing kelompok, agama dan antar golongn harus saling menghormati dan menghargai dan tidak boleh saling menegasikan yang berpotensi terjadinya konflik horizontal di tingkat akar rumput.
Persaudaraan diatas nasab, anjuran permusuhan SARA, fitnah dan adu-domba kepada golongan tertentu adalah bentuk *kejahatan* yang tidak pernah dibenarkan dengan alasan apapun.
Masalah perilaku oknum dan perihal nasab Ba’alawi adalah dua hal yang berbeda dimana gaduh nasab ini berdampak langsung pada nilai-nilai kebangsaan terutama penghargaan terhadap kemajemukan dan toleransi antar golongan.
Kedua-belah pihak saling mengambil hikmah dan pelajaran, saling memaafkan dan introspeksi diri. Jangan ada generalisasi atas perilaku para oknum.
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 8)
Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memutuskan hubungan, dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya (dalam kesusahan), dan tidak boleh menghinanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.:”Ambillah hikmah dimana saja walaupun dalam dada seorang munafik, karena hikmah itu tak bisa bersemayam dalam dadanya melainkan keluar dan menjadi milik si mukmin”