INDONESIA TODAY ONLINE – Sekitar setahun yang lalu, saya mengunjungi Syekhina Syekh Mustafa Abdunnabi di Cianjur. Saya menghabiskan lebih dari sehari di sana, menyerap ilmu beliau yang sangat mendalam. Di tengah perbincangan keilmuan, Syekh sempat menyinggung fenomena yang saat itu sedang memanas di Indonesia: polemik seputar para Habaib.
“Maulana tahu problematika isu Habaib yang sedang ramai dibicarakan?” tanya beliau.
“Saya tahu, Syekh,” jawab saya. “Komunitas yang menggugat keabsahan para Habaib itu bagian dari proyek intelijen.”
Beliau tersenyum tipis. “Zulfa, jangan sekali-kali mengira kerja intelijen itu mudah terdeteksi. Operasi mereka sangat halus dan rapi. Tapi, kita bisa membacanya dari pola-pola yang sudah pernah terjadi di masa lalu.”
Lalu beliau bercerita bahwa apa yang terjadi di Indonesia kini, pernah terjadi di Mesir dahulu. Di sana, ada seorang tokoh besar bernama Omar Makram. Ia adalah ketua para Habaib—atau di Mesir dikenal dengan sebutan Naqib Al-Asyraf. Pengaruhnya sangat besar. Bahkan, satu kalimat dari beliau bisa mengguncang Mesir. Omar Makram pernah mengusir Hurshid Pasha dan menggantinya dengan Muhammad Ali Pasha.
Namun, justru karena pengaruhnya yang begitu besar, Muhammad Ali merasa terancam. Akhirnya, Omar diasingkan ke Dimyath oleh seorang politikus yang dulu pernah didukungnya sendiri.
“Kau tahu bagaimana strategi Muhammad Ali selanjutnya, Zulfa?” tanya Syekh.
“Kepemimpinan Asyraf kemudian diserahkan kepada saudara Omar Makram yang fasik—sosok yang bisa dikendalikan. Dalam masa kepemimpinannya, banyak yang bukan Habaib diangkat menjadi Habaib. Akibatnya, para Asyraf yang selama ini sangat dihormati oleh masyarakat mulai kehilangan wibawa dan kepercayaan.”
“Langkah awal untuk merusak citra para Habaib pun berhasil.”
Tak berhenti di situ. Mereka lalu mengalihkan fokus ke Al-Azhar. Pengaruh Al-Azhar bukan hanya terletak pada keilmuan dan ulama-ulamanya, tetapi juga pada lembaga wakafnya yang menjadi kekuatan ekonomi besar, bahkan mampu memberikan pinjaman kepada negara. Lembaga wakaf itu pun akhirnya diambil alih oleh negara, dan pengaruh Al-Azhar perlahan melemah.
Program pelemahan Al-Azhar berhasil.
Tak lama kemudian, kekuatan militer yang kala itu dipegang oleh para Mamluk dihancurkan. Para jenderal dan perwira Mamluk dibantai oleh pasukan Muhammad Ali di Qal’ah Salahuddin. Pengaruh Mamluk pun lenyap.
“Itu cerita Mesir. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia?” lanjut Syekh.
“Sekarang giliran para Habaib. Dan kelak, akan datang waktunya para kiai dan tengku yang diserang. Kamu kira negara tidak tahu persoalan di pesantren? Kasus pelecehan seksual, kekerasan, pelanggaran HAM? Mereka tahu semuanya. Tapi mereka menunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengan para kiai.”
“Jangan terlalu polos dalam memahami persoalan dan politik.”
“Selama ini kita terbiasa melihat persoalan hanya di permukaan. Padahal, akar masalahnya jauh lebih dalam. Saya teringat ungkapan Syekh Ahmad Tayyib dalam kitabnya Al-Audah Ila Al-I’man, ‘Yang membentuk jamaah teroris adalah kebijakan politik Barat dan para pengusaha senjata. Selama ini kita dibodohi oleh propaganda mereka, seolah-olah agama lah yang mendorong seseorang menjadi teroris.’”
Saya hanya diam. Merenung panjang setelah mendengar semua itu.