Oleh : Haidar Bagir
24082022
Belasan tahun lalu, saya pernah memimpin rombongan umrah dari Indonesia. Suatu kali, ketika sedang beristirahat di kamar hotel kota Makkah – hanya diseberang Masjidil Haram – saya iseng-iseng membuka salah satu channel TV Saudi. Muncul di layar seorang da’i muda berwibawa sedang berceramah dalam bahasa. Arab yang masih menyisakan lahjah (dialek) Hadhramawt. Ceramahnya sangat mengesankan, menunjukkan keluasan wawasan dan keterbukaannya. Entah kenapa, meski sebelumnya belum pernah melihat wajahnya, saya seperti yakin bahwa da’i itu adalah Hb. Ali Zaynal ‘Abidin Aljufri. Ternyata betul, di layar belakangan muncul tulisan menyebutkan namanya. Ketepatan dugaan saya itu hanya bisa terjadi karena sebelumnya saya sudah banyak mendengar nama Hb. Ali Aljufri sebagai da’i muda asal Hadhramawt atau dari kalangan’ Alawiyin (komunitas keturunan Nabi asal Hadhramawt), yang memiliki kekhasan melewati ciri-ciri da’i/’ulama Hadhramawt pada umumya. Beliau dikenal dengan dakwahnya yang luwes, terbuka, toleran, dan kosmopolit. Dan ini bukan kebetulan. Hb. Ali berasal dari keluarga “aristokrasi” politik Yaman/Hadhramawt. Ayahnya, pernah menjadi Wakil Perdana Menteri di pemeritahan Republik Demokratis Yaman, yang berumur pendek, akibat dijatuhkan oleh Rezim Utara pimpinan ‘Ali Abdullah Shaleh. Akibat masalah politik tersebut ayah Hb. Ali harus meminta suaka politik di Saudi Arabia, dan tinggal di sana. Itu sebabnya Hb. Ali lahir di Jeddah, dan bukan di Hadhramawt.
Belakangan, selama mungkin lebih dari dua puluh tahun Hb. Ali berhijrah ke Abu Dhabi, sebuah negeri Teluk “ultramodern”.
Karena keterbukaan, keluwesan dan kemodernan pola pikir Hb. Ali ini, tak jarang pikirannya mengejutkan masyarakat sesama ‘Alawiyin – yang berkultur keagamaan pristin (murni) dan segan bergeser dari tradisi leluhur. Saya dengar, entah benar atau tidak, bahkan beliau sempat ditolak di kalangan sebagian’ Alawiyin sendiri di Indonesia. Di bawah ini ilustrasi dari pengalaman pribadi saya sendiri.
Di antara pandangan beliau yang amat maju adalah soal kebolehan Muslim mengucapkan Selamat Natal.
Saya memang selalu sejak dulu mengucapkan selamat Natal setiap tahun kepada saudara-saudara Kristiani kita. Setiap tahun pula saya dikritik, dan setiap tahun pula saya sampaikan bahwa saya mengikuti para ulama besar yang membolehkannya. Ada Prof. Quraish Shihab – bahkan konon juga Buya Hamka yang sangat saya kagumi – lalu saya menyebut tak sedikit ulama lain yang membolehkannya. Nah, di antara nama-nama itu, saya tak pernah lupa menyebut nama Hb. Umar bin Hafizh dan Hb. Ali Aljufri. Keduanya membolehkan, tapi adalah Hb. Ali al-Jufri di antara yang membolehkannya dengan nada sangat empatik – selalu dengan gaya bicara antusias yang menjadi cirinya. Maka, pernah sekali waktu, ketika saya sebut nama Hb. Ali Aljufri sebagai pendukung sikap saya, seorang tokoh muda sesama ‘Alawiyin (yakni dari komunitas habaib), dengan ketus menyatakan bahwa dia bukan pengikut Hb. Ali Aljufri.
Dalam soal hubungan Islam-Kristen ini Hb. Ali bahkan dikenal sebagai salah satu pemrakarsa gerakan dialog Islam Kristiani, yang belakangan disebut sebagai The Common Words. Dimulai dengan surat dari banyak ulama besar Muslim Internasional, yang dikirimkan ke Vatikan, lalu gayung pun bersambut (Seperti buku utama Hb. Ali, berjudul Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan, belakangan buku tentang Common Words ini juga diterbitkan Kelompok Penerbit Mizan). Hb. Ali memang dikenal sudah malang melintang di dunia Internasional, termasuk di AS dan Eropa, berdialog dengan tokoh-tokoh dunia, Muslim atau pun bukan.
Beliau juga pendiri dan Ketua Yayasan Thabah di Abu Dhabi yang pernah saya kunjungi. Sayang kami tak bisa betemu dengan beliau, karena beliau waktu itu sedang mengurus ayahnya yang sedang sakit. Kami pun bertemu wakl beliau, seorang sarjana Islam asal AS, yang mengantar kami meninjau perpustakaan Yayasan. Saya lihat rak-rak bukunya penuh terisi dengan buku-buku klasik dan modern, dari berbagai bahasa. Saya ingat di antaranya adalah buku-buku filsafat Barat, Postmodernisme, hermeneutika, dll. Sambil melihat-lihat is perpustakaan saya merasa bahwa dalam pemikirannya ada juga pengaruh kuat Syaikh bin Bayyah, seorang ulama besar dari Mauritania (Syinqith), mantan Menteri Pendidikan, Menteri Kehakiman, dan Wakil Presiden dari Presiden Pertama negeri Mauritania, yang dikenal berpikiran amat luas dan dikagumi Hb. Ali. Memang, saya dapati koleksi karya tulis Syaikh ibn Bayyah terpampang lengkap di sana.
Kontroversi – saya sendiri menganggapnya sikap progresif – Hb. Ali Aljufri dalam pemikiran keagamaan tak hanya berhenti pada pembolehan ucapan selamat Natal. Hb. Ali juga tidak membenarkan sikap pembangkangan kepada pemerintah yang sah. Karena, bagi beliau, pemerintah adalah penjaga keamanan dan kedamaian suatu negeri. Jika pemerintah suatu negeri dirongrong, yang akan terjadi adalah chaos (kekacauan). Karenanya, beliau selalu menentang kelompok-kelompok Islam yang membangkang dan ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, di negeri Muslim mana pun
Hb. Ali juga tidak menutupi ketidaksejalaannya dengan kaum Salafi yang – di samping berbagai sikap mereka yang menentang (bahkan mensyirikkan) tasawuf/thariqah dan praktik2 tradisionalisme Islam – juga bahu membahu dengan Ikhwan dalam menyasar posisi kekuasaan di Mesir. Secara umum beliau memang tampak tidak setuju kepada sikap-sikap Ikhwanul Muslimin di berbagai negeri Muslim yang yang berambisi merebut kekuasaan – seringkali dengan risiko perpecahan di antara kaum Muslim. Sehingga, meski Ikhwan di Mesir akhirnya memenangi pemilu, Hb. Ali dikenal mendukung sikap-sikap ulama Azhar di Mesir yang berseberangan dengan kelompok Ikhwan di sana, sampai-sampai beliau dianggap bekerjasama dengan rezim militer yang berhasil mengkudeta rezim ikhwan dan sekarang berkuasa di negeri piramid ini. Sebagai akibatnya, kelompok-kelompok Islamis (Islamiyyun) tidak menyukainya. Pernah, misalnya, sekelompok Salafi (atau Ikhwan) di Inggris menggalang dukungan untuk menentang kunjungan Hb. Ali ke negeri tersebut. Sikap yang sama, yang beliau gaungkan di Indonesia, juga telah ikut memperkuat penolakan sesama Alawiyin sendiri yang mendukung gerakan-gerakan model Islamis ini, khususnya yang dilancarkan oleh Kelompok 212 pimpinan Hb. Rizieq.
Meski demikian, Hb. Ali selalu menekankan bahwa ketidaksetujuannya kepada sikap-sikap dan pandangan kelompok-kelompok Muslim lain tak boleh menyebabkan kita membenci mereka. Tanpa ragu Hb. Ali menyampaikan di depan massa Salafi bahwa, dalam ketidaksetujuannya kepada mereka, Hb. Ali tak segan membela hak-hak mereka, bahkan dengan nyawanya. Demikian pula terhadap kaum Syiah. Hb. Ali tak pernah menutupi ketidaksukaannya kepada rezim Wilayah al-Faqih yang berkuasa di Iran sekarang ini, dan dianggapnya membangkitkan kembali perseteruan Sunnah-Syiah (khususnya di Yaman) (Catatan: bagi sebagian orang yang tak setuju sepenuhnya dengan pandangan Hb. Ali ini, negara-negara Arab juga dianggap tak kurang berperan dalam menciptakan perseteruan ini). Beliau secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya dengan pandangan kaum Syiah tentang (sebagian) sahabat, atau pun pandangan mereka tentang kemaksuman Imam, yang hanya dibatasi pada sejumlah orang tertentu. Dan mungkin masih ada ketidaksetujuan-ketidaksetujuan lainnya. Hb. Ali memang adalah orang yang terbiasa mengemukakan apa yang beliau rasa harus dikemukakan secara terus terang. Tanpa tedeng aling-aling, rasa segan, sungkan, apalagi takut (dimusuhi). Tapi, Hb
Ali juga adalah seorang ‘alim yang, di berbagai kesempatan dan melalui berbagai medium, selalu menganjurkan perdamaian dan persatuan di antara Sunnah-Syiah.
Yang unik, dan tak kurang kontroversial, Habib Ali juga pernah mengakui secara publik menyesali kehidupan poligamisnya. Sampai beliau menyatakan bahwa, kalau beliau bisa memutar waktu, beliau tak akan menjalani kehidupan poligami. Sikap beliau ini kiranya bisa ditempatkan dalam konteks pemihakan beliau – betapa pun bukan tanpa batas – terhadap prinsip kesetaraan gender.
Beliau juga percaya kepada keharusan berijtihad secara progresif, sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Misalnya, tak apa sesorang harus memilih pendapat lain yang berbeda dengan mazhab yang dianut jika situasi dan tempat mengharuskan. Bahkan, Hb. Ali dengan tegas menyatakan bahwa lokalitas dan latar belakang budaya yang berbeda bisa saja menuntut ijtihad yang berbeda a. Yakni, selama maqashid (tujuan-tujuan akhir) syariah bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Maka, lebih-lebih lagi, perbedaan warna (celupan/sibghah) kultural yang berbeda-beda pun masih dimungkinkan. Beliau bahkan mengambil contoh Wali Songo – yang, menurut satu versi, setidaknya 8 di antara mereka merupakan keturunan dari kaum ‘Alawiyin – yang dengan spektakuler berhasil mengislamkan Nusantara tanpa “memperkosa” nilai-nilai budaya ke-Nusantaraan yang ada (Bersambung ke bagian 3, bagian terakhir, tentang mazhab cinta Hb. Ali Aljufri)