Haidar Bagir
Demi Menghindarkan Kerancuan dan Konflik dalam Pemahaman dan Praktik Islam
Ya, sirah – menurut saya – harus ditinjau secara metodologis. Yakni, secara historiografis alias kritis, koheren, dan sistematis, khususnya dalam memanfaatkan literatur2 awal seperti Sirah Ibn Hisyam atau Thabari. Literatur lanjut memang sudah mulai menerapkan pendekatan yang lebih metodologis, seperti al-Mas’udi, al-Biruni, dll. Puncaknya adalah pada Ibn Khaldun, yang di dalamnya metodologi ini sudah cukup ketat, meski tak berarti orang harus setuju dengan semua yang ditulis/diyakini benar olehnya
Karena, meski ada ilmu rijal dalam sirah, ia tak seketat dalam hadis. Padahal, dalam hadis pun kemungkinan sebuah hadis juga tidak shahih, meski melewati ilmu rijal, juga masih besar. Maka literatur sirah menjadi tak sepenuhnya bisa diandalkan. Sebagian orang, misalnya, malah menyebut Thabari sebagai “haathib layl” (pencari kayu di malam hari yang, karena gelap, semua dipungut, pdhl bisa jadi cuma kotoran hewan yg sdh mengeras🙏)
Lebih jauh, saya menyarankan bahwa sirah harus dilihat secara paradigmatik – yakni mengikuti rumusan tentang prinsip-prinsip dasar yang membentuk cara kita melihat suatu realitas. Dan paradigmanya dalam hal ini tak lain adalah paradigma al-Qur’an tentang Rasulullah saw.
Paradigma al-Quran tentang Rasulullah adalah bahwa Rasulullah itu teladan (uswah) dalam hal akhlaq. Wa innaka la’ala khuluqin’ azhiim (QS al-Qalam: 4). Sitti A’isyah pun menyebut bahwa akhlaq Rasul adalah al-Qur’an.
Akhlaq Rasul bersumber pada hatinya lembut (layyin) (QS Ali Imran:159), penuh kasih dan sayang. Dia saw sangat empatik, bahkan terhadap non-Mukmin (QS al-Tawbah: 128). Rasul saw memang juga tegas kepada orang-orang kafir (orang-orang jahat, tiranik) (QS al-Fath 29), tapi tegasnya Rasul sdh pasti tak mungkin sama dengan sikap kasar – berdasar ayat yang dikutip sebelumnya. Bukankah, selain disebut ra’uf dan rahiim, Nabi saw sendiri juga menyatakan bahwa “cinta adalah asasku” (al-hubbu asaasiy)?
Yang kedua, dalam hal kasus2 spesifik, yang terikat tempat dan zaman, kita perlu mengambil ideal moral uswah Nabi, dan tak harus kebijaksanaan spesifik masa dan lokasi itu. Apakah ideal moral itu? Belajar dari prinsip. maqaashid syar’yah, ideal moral itu mencakup pencapaian kebaikan bagi semua orang: akhlak mulia, perlindungan atas hak asasi manusia, keadilan (termasuk kebenaran rasional), dan kedamaian (kebebasan dari konflik dan peperangan) .
Lebih jauh lagi dari itu, bahkan sesungguhnya dalam hal al-Qur’an pun, bukan cuma sirah dan hadis Rasul, pemahaman kita pun – selain metodologis – harus paradigmatik juga. Apa paradigma pemahaman al-Qur’an? Tak lain adalah cinta dan belas kasih juga (argumentasi tentang hal ini sudah saya tulis di tempat dan kesempatan lain. Salah satunya adalah penekanan kitab suci ini kepada sifat Sang Pemberi firman yg Maha Pencinta – Al-Wajid, Al-Wadud, Al-Muhib, Al-Rahman, Al-Rahim, dsb serta menegaskan bahwa mukmin/muslim beriman kepada Allah adalah orang2 yg intens cintanya kepada Allah, dsb)
Maka, kesimpulannya:
- Kita harus memahami sirah dan hadis, juga tentu al-Qur’an, dengan paradigma cinta/ kasih sayang dan ideal moral Islam. Dengan demikian, tanpa mengabaikan riwayat, kandungan (matan) hadis harus menjadi penentu final dalam menshahihkan dan menggunakan bahan-bahan sirah dan hadis. Pun dalam pemahaman al-Qur’an. Jika bertentangan dengan paradigma dan ideal moral tersebut, maka perlu kita pertimbangkan secara serius untuk kita tolak – meski mungkin sebagian ahli menshahihkannya menuruti riwayatnya. Apalagi, pada kenyataannya, metoda penshahihan menuruti jalur riwayat ini juga tidak mutlak, bahkan banyak perbedaan di antara para ahli sendiri, sampai detik ini. Tak sedikit ahli yang meragukan keshahihan hadis meski terdapat dalam shihah sittah, misalnya. Apalagi bahan dalam kitab-kitab sirah? Kedua, kita harus menjadikan bahan-bahan dalam sirah Nabi, saya bahkan mengatakan juga hadis, sebagai bahan ijtihad, untuk membangun sunnah (tradisi Islam), bukan injunksi yang harus ditetapkan secara literal dan pristine (murni). (Untuk penalaran tentang hal ini, sila baca Islamic Methodology in History karya Fazlur Rahman, atau – meski mungkin oleh banyak orang dianggap terlalu liberal – What is Islam karya Shahab Ahmed). Dan, melihat bahwa zaman berubah terus, demikian juga ilmu pengetahuan, ijtihad ini bukan hanya perlu melibatkan ulama, melainkan juga para ilmuwan umum. Para ulama melakukan deliberasi (penelitian) untuk mencari bahan-bahan relevan yang diduga paling shahih dari sirah (dan hadis Nabi saw), sementara kaum ilmuwan umum mengombinasikannya dengan ilmu pengetahuan mutaakahir agar pemecahan yang dihasilkan merupakan yang terbaik terhadap tantangan zaman.
Dalam hal ada pertentangan antara hasil temuan ulama dan ilmuwan, maka harus dicari bahan dari kedua domain itu yang bisa dirujukkan, tanpa mengorbankan salah satunya.
Tanpa ini semua, saya khawatir bahan-bahan dalam sirah, bahkan bahan-bahan (sic) dalam hadis – yang masih bisa kita perselisihkan keshahhihannya, bukan ucapan Nabi saw yang sudah kita percayai shahih, yang sudah pasti harus menjadi pegangan setiap Muslim – bisa menjadikan pemahaman kita simpang siur, kalau tidak malah menjadi sumber konflik yang tiada habisnya seperti yang terjadi di masa sekarang, bahkan nyaris sepanjang sejarah Islam.
Wallaah a’lam bish shawab.
03032022