JAKARTA, INDONESIA TODAY – Sejumlah laporan dugaan kecurangan Pemilu 2024 ditemukan di sejumlah daerah. Hal itu berdasarkan laporan yang dihimpun Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih melalui pos pengaduan yang telah dibuka sejak pekan lalu.
Perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengklaim, sedikitnya tujuh KPUD tingkat provinsi dan 12 KPUD tingkat kabupaten/kota, mengikuti instruksi dari KPU RI untuk berbuat curang dalam proses verifikasi faktual.
Setidaknya, ada dua kecurangan tersebut, yakni dalam bentuk intervensi dan iming-iming. Pertama, Kurnia menjelaskan, anggota KPU RI diduga mendesak anggota KPUD untuk mengubah status verifikasi partai politik.
“Dari awalnya tidak memenuhi syarat berubah (menjadi) memenuhi syarat,” terang Kurnia saat menutup pos pengaduan mereka, Minggu (18/12/2022).
Namun, anggota KPUD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tak sepakat dengan intervensi yang dilakukan melalui sambungan video call itu.
KPU Diduga Curangi Penyelenggaraan Pemilu, Laporan Berasal dari 7 Provinsi dan 12 Kabupaten/Kota
Lewat Sekjen KPU RI
Tak berhenti di sana, ada cara lain yang diduga dilakukan KPU. Koalisi menduga ada keterlibatan Sekretaris Jenderal KPU Bernard Darmawan Sutrisno dalam hal ini.
Kurnia menuding Bernard memerintahkan jajaran sekretaris di tingkat provinsi untuk melakukan hal yang sama.
Bernard diduga memerintahkan sekretaris KPUD tingkat provinsi agar memerintahkan operator Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) di tingkat kabupaten/kota, mendatangi kantor KPU provinsi untuk mengubah status verifikasi parpol.
“Kabarnya, Sekretaris Jenderal sempat berkomunikasi melalui video call untuk menginstruksikannya secara langsung disertai dengan ancaman mutasi bagi pegawai yang menolak,” tambah Kurnia.
Namun, Bernard membantah tudingan tersebut.
“Karena setiap kegiatan sudah ada tim teknis yang memiliki tugas untuk menjelaskan substansi,” kata dia kepada Kompas.com, kemarin.
Ia menjelaskan, sekretariat di setiap tingkatan KPU, baik provinsi ataupun kota/kabupaten, berfungsi sebagai supporting system.
“Sekretariat memberikan dukungan teknis administrasi kepada ketua dan anggota KPU (baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota),” kata dia.
Ia menegaskan, terkait dengan fungsinya sebagai supporting system, sekretariat KPU hanya berwenang memfasilitasi terlaksananya setiap tahapan pemilu, termasuk juga tahapan verifikasi partai politik.
“Kebijakan dan keputusan di setiap tahapan merupakan wewenang ketua dan anggota KPU (pusat, provinsi dan kabupaten/kota),” ujarnya.
Namun demikian, Bernard mengamini bahwa tanggal 7 November 2022, sekretariat KPU provinsi melangsungkan rapat.
Bernard juga mengakui bahwa Sipol dioperasikan oleh pegawai sekretariat KPU, sebagaimana sistem teknologi informasi lainnya milik KPU.
“Tetapi, 7 November 2022 dilakukan rapat di tingkat sekretariat KPU provinsi merupakan kegiatan rutin dalam rangka penyiapan rekapitulasi di provinsi,” ujar Bernad.
Ancam laporkan ke DKPP
Pada Selasa (13/12/2022), koalisi dan anggota KPU daerah yang mengaku tahu soal praktik ini, melalui firma hukum AMAR dan Themis, sudah melayangkan somasi kepada KPU RI.
Ketika itu, mereka memberikan tenggat waktu kepada KPU 7 hari untuk merespons somasi yang mengatasnamakan sejumlah anggota dan petugas teknis KPU di daerah yang mengaku tahu soal dugaan manipulasi data itu.
“Namun, hingga saat ini, berdasarkan informasi yang diterima oleh Koalisi, KPU belum membalas dan menindaklanjutinya,” ujar Kurnia.
“Atas dasar hal tersebut, maka langkah lanjutan dari proses itu adalah melaporkan anggota KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Republik Indonesia dalam waktu dekat,” tambahnya.
Sementara itu, pihak KPU RI justru menilai surat somasi yang dilayangkan oleh koalisi masyarakat sipil tidak jelas merinci subjek dan tempat peristiwanya.
“Surat tersebut tidak menjelaskan apakah KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Itu tidak dijelaskan sama sekali,” kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik kepada wartawan.
Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik
“Lokusnya (tempat peristiwa) juga tidak ada,” imbuh eks Ketua KPU Kabupaten Bekasi itu.
Di samping itu, ia menyebut bahwa somasi itu pun tidak merinci tempat kejadian perkara dugaan intimidasi tersebut dilakukan.
Idham mengeklaim bahwa pihaknya tetap menelusuri dugaan peristiwa ini, meskipun terdapat sejumlah ketidakjelasan dalam surat somasi ini.
Ia juga mengaku heran karena lembaga hukum yang melayangkan somasi, yakni firma hukum AMAR dan Themis, dinilai bukan lembaga yang pernah dirugikan atas apa pun kebijakan KPU RI.
Baca juga: Komisi II DPR Diharap Segera Minta KPU Klarifikasi Dugaan Kecurangan Verifikasi Faktual Parpol
“Selama ini tidak ada juga kebijakan KPU yang sekiranya merugikan lembaga hukum tersebut karena yang namanya somasi kan harus ada sebuah dampak dari kebijakan. Lembaga hukum bukanlah peserta pemilu. Kira-kira begitu,” jelas Idham.
Ia berjanji KPU RI akan menindaklanjuti somasi ini dan memberikan jawaban, sebagai lembaga publik. KPU RI mengeklaim telah melakukan penelusuran internal untuk menindaklanjuti somasi tersebut.
Pelanggaran Berat
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengaku tak sepakat dengan argumen semacam itu.
Menurutnya, penyelenggara pemilu semestinya tidak membelokkan isu dengan terkesan mempersoalkan korban.
“Jangan mencari siapa (unsur penyelenggara) atau membocorkan, tetapi KPU harus membuka semua data dan fakta verifikasi partai secara terang-benderang. Persoalan intinya ada dugaan manipulasi data dalam verifikasi,” ujar Titi dalam jumpa pers virtual kemarin.
“Buktikan bahwa data-data tersebut valid dan benar. Jangan dibelokkan seolah-olah mereka yang mau bicara dan mengungkap adalah orang yang salah,” lanjutnya.
Titi menegaskan, konsep keadilan pemilu yang kerap didengungkan jelang pemungutan suara tidak hanya soal penindakan atas pelanggaran.
Keadilan pemilu seharusnya melindungi hak memilih dan dipilih, di mana hak pilih merupakan sesuatu yang berharga sehingga penyelenggara pemilu mesti menjamin tiada manipulasi dalam menentukan siapa yang berhak ikut kontestasi dan dipilih.
Baca juga: Klaim Temukan Adanya Kecurangan, ICW dkk Ancam Laporkan Anggota KPU ke DKPP
“Ini sangat esensial. Manipulasi dan rekayasa data adalah pelanggaran berat terhadap asas pemilu dan praktik pemilu konstitusional,” ujar anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut.
“Itu (manipulasi data) mengkhianati amanat konstitusi dan menodai hak warga mendapatkan pemilu yang berkala jujur dan adil dalam satu paket,” tambahnya.
Sumber: Kompas