🖋️ Husein Alkaff
Tidak bermaksud untuk menilai benar atau salahnya HBS, dan tidak pula bermaksud mendukung atau tidak mendukung sikap dan pernyataan kontroversialnya beberapa waktu yang lalu sehingga menjadikannya tersangka. Tulisan ini hanya sekedar ingin bercerita tentang psikilogi masyarakat di negeri yang kita cintai ini.
Beberapa saat setelah keluar dari Lapas Gunung Sindur, HBS segera tancap gas dengan kencang. Dalam sebuah ceramahnya pada peringatan Maulid Nabi saw., HBS bersumpah akan menghabisi siapapun; habaib, para ulama, para politikus dan lainnya yang meminta HRS untuk kembali ke Tanah Air dan menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta dalam jumlah ratusan ribu, namun saat HRS dipenjara mereka diam dan tidak dapat melakukan apapun. Mereka dianggap berkhianat kepada HRS.
Pesan inti yang disampaikan dalam ceramah itu adalah bahwa HBS kecewa berat terhadap umat Islam yang dengan penuh gelora mencintai dan mendukung HRS ternyata mereka diam dan tidak berkutik saat HRS dipenjara.
Setelah itu, HBS berceramah di beberapa tempat di Garut dan Tasikmalaya dengan retorikanya yang khas penuh semangat dan berapi-api sesekali mengkritik pemerintah, yang dianggapnya, tidak adil dan telah menyengsarakan rakyat.
Sebagaimana biasa, ceramahnya mendapat sambutan yang luar biasa. Jumlah yang hadir sangat banyak dan pekikan takbir tak henti-hentinya menggema di luar angkasa.
Mengapa HBS ceramah di wilayah priangan timur; Garut dan Tasikmalaya ? Sekedar informasi, wilayah itu dari sejak zaman Orde Lama adalah basis gerakan DI/TII. Gerakan Islam Politik, bahkan sebagian darinya gerakan Islam Jihadis, cukup kuat di wilayah itu.
Dari sejak HBS bersumpah untuk menghabisi para habaib, para ulama dan para politikus yang berkhianat hingga sebelum dinyatakan sebagai tersangka karena kasus penyebaran berita bohong tidak ada satupun dari mereka dihabisi olehnya. Pihak-pihak yang diancam olehnya justru merapat kepadanya dan ikut serta meramaikan ceramah-ceramahnya hingga medsos menjadi penuh dengan segala hal yang berhubungan dengan kehidupannya.
Setelah sekian lama berceramah yang disambut massa yang banyak dan berdesak-desak serta dimeriahkan medsos yang tidak pernah berhenti, HBS tersandung pelanggaran hukum yang menjadikannya kembali masuk penjara. Massa yang berdesak-desak dan medsos yang riuh rendah tidak mampu melakukan apapun dihadapan keputusan hukum yang menjeratnya.
Pesan yang disampaikan oleh HBS saat baru keluar dari penjara dengan sumpahnya itu ternyata tidak sampai kepada massa yang ada di hadapannya saat berceramah. Pihak-pihak yang diancam akan dihabisinya karena membiarkan HRS dipenjara ternyata telah melakukan hal yang sama terhadapnya.
Ya nasib. Akhirnya, HBS mengalami nasib yang dialami oleh HRS juga. Pekikan takbir dan riuh rendah medsos tidak mampu berbuat apa-apa, dan akan hilang ditelan waktu. HBS kembali meringkuk di penjara sebatang kara.
Itu sebuah cerita yang nyata di Tanah Air yang tercinta ini. Barangkali cerita yang sama pernah terjadi di masa-masa silam. Sependek pengetahun saya, wallahu a’lam, tidak pernah ada seorang tokoh atau ulama yang dipenjara oleh penguasa, baik pada pada masa kolonial maupun setelah merdeka, lalu mendapatkan perlawanan dari para pengikutnya sedemikian rupa sehingga dibebaskan, apalagi melawan demi membebaskan tokoh mereka dengan berdarah-darah. Pembelaan sampai tingkat itu tidak pernah saya dengar di negeri ini.
Yang pernah dan sering terjadi adalah umat hanya mengagumi seorang tokoh atau ulama yang ceramah berapi-api sesekali mengkritik pemerintah, dan mereka seakan-akan siap mengorbankan apapun demi tokoh mereka saat berorasi.
Namun, ketika tokoh itu menghadapi keputusan penguasa, mereka hilang begitu saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Saya tidak memiliki kapasitas dalam menilai psikologi sebuah masyarakat dan bangsa. Namun, berdasarkan realita yang ada bahwa masyarakat kita menyukai keramaian dan kerumunan, baik karena hiburan atau ceramah agitatif dan penuh candaan.
Di Tanah Air ini, agar sebuah ceramah ingin dihadiri pendengar yang banyak hingga membludak, maka penceramah harus berorasi dengan berapi-api, kalau perlu berteriak-teriak, atau dengan melawak, atau bersholawat. Setelah ceramah, mereka akan bubar dan selesai. Kemudian penceramah yang mengkritik pemerintah ketika dianggap melanggar hukum, maka dia akan menanggung resiko sendiri. Teriakannya dan ajakannya untuk melawan pemerintah hanya mendapatkan teriakan yang sama dengan teriakannya.
Penceramah itu seperti seorang yang teriak di dalam ruangan besar yang kosong. Teriakannya hanya melahirkan gema (resonansi) yang berulang seperti teriakannya. Makin besar ruangan kosong itu, maka makin besar dan banyak resonansinya.
Demikian pula, ceramah dengan berapi-api dan berteriak hanya akan mendapatkan pekikan takbir tapi tidak ada orang yang siap membela. Makin banyak yang hadir, maka makin banyak yang teriak.
Kalaupun ada pihak yang memperpanjang isi ceramah yang bermuatan kritikan terhadap pemerintah, maka, biasanya, orang-orang yang mempunyai agenda tertenu seperti merebut kekuasaan atau mengambil keuntungan pribadi.
Tidak bermaksud merasa paling paham, watak bangsa kita lebih cocok dengan pola dakwah yang senyap-senyap tanpa suara apalagi teriak-teriak, namun dengan berjalannya waktu umat tiba-tiba sudah mengikutinya; tanpa ada yang dipenjara dan tanpa ada kerumunan massa.
Barangkali pola dakwah Wali Songo dahulu kala seperti ini. Wallahu a’lam