Pada laga final Piala Dunia Qatar 2022 mental para pemain Perancis sempat down pada babak pertama dan tidak mampu menerapkan skema permainan hingga terkesan kalah skill, karena para pemain Argentina langsung menggebrak dengan agresivitas tinggi saat menguasai bola dan melakukan “man to man marking” saat kehilangan bola, apalagi beberapa pemain utama dipaksa turun ke lapangan meski tidak bugar akibat cedera.
Tim Argentina memang lebih berambisi karena Messi belum pernah memegang piala emas itu sejak menjadi pemain timnas hingga jelang pensiun di usia tak lagi muda. Sedangkan Perancis baru saja menjadi juara dan Mbepe yang muda masih punya kesempatan untuk menjadi yang terbaik pada Piala Dunia mendatang.
Argentina berhak menang berkat gravitasi yang memihak para pemainnya pada drama adu penalti, meski kemenangan ini tidak seheroik kemenangan dengan kemenangan gol tanpa adu penalti.
Tapi, dalam setiap perlawanan dua pihak selain tempur nyata, kemenangan adalah produk sebuah kesepakatan dan pemenang adalah hasil sebuah peraturan.
Di luar itu, timnas Perancis secara moral lebih unggul karena berhasil membuktikan kepada dunia asas kesetaraan dalam nasionalisme tanpa diskriminasi ras dan agama meski mayoritas pemainnya adalah keturunan imigran Afrika yang miskin dan beberapa pemainnya beragama Islam. Ini tak bisa dibandingkan dengan timnas Argentina yang tekesan memperlihatkan homogentitas.
Pemuda berparah lugu putra ibu bernama Faizah Lamari itu secara visual lebih mewakili kaum pinggiran dan masyarakat dua dunia ketimbang Messi yang nyata berangkulan dengan dua pejabat rezim penjajah bahkan ikut berdoa di depan dinding ratapan. Video itu terlalu kuat untuk digugurkan oleh bantahan retorik. Adegan aksi mesum kiper Argentina melengkapi alasan untuk tetap mendukung Mbape dan kawan-kawannya.
Ini memang soal sepak bola, bukan agama dan politik tapi event Piala Dunia bukan hanya peristiwa olahraga. Ia tak bebas dari subjektivitas, opini dan intrik politik hegemoni.
ML19122022