Terlahir dengan nama Fereydoun Molkara pada tahun 1950. Ia bertubuh laki-laki, tapi merasa dirinya adalah perempuan.
Sejak usia dua tahun, kata ibunya,
dia sudah berperilaku seperti balita perempuan. Dia selalu menyukai pakaian, mainan, dan aktivitas yang secara tradisional diperuntukkan bagi anak perempuan.
Di masa remajanya, Molkara kerap pergi ke pesta-pesta dengan berpakaian seperti perempuan. Dengan tindakannya itu ia kerap mendapat penghinaan dan pelecehan.
Meski ditentang keluarga, ia tetap berpakaian dan hidup seperti layaknya perempuan.
Pada tahun 1975, Molkara ke London,
di situ dia belajar lebih banyak tentang identitasnya. Dia mengidentifikasi dirinya sebagai transgender, bukan gay.
Untuk mendapat kepastian bagaimana
dia mengamalkan ajaran agamanya,
Molkara mulai menulis surat kepada
Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang saat itu menjalani pengasingan di Irak.
Dia meminta nasihat agama tentang pengidentifikasian jenis kelamin yang menurutnya salah saat lahir dan harus keluar dari itu.
Imam Khomeini memberi jawaban, bahwa dia biseksual dan harus menjalani hidup sebagaimana perempuan.
Molkara tidak puas dengan jawaban itu. Dia ingin mendapat fatwa bahwa dia dibolehkan melakukan operasi pergantian kelamin agar dia bisa menjalani hidup sepenuhnya sebagai perempuan. Tahun 1978, dia pergi ke Paris, tempat pengasingan Imam Khomeini selanjutnya, setelah juga diusir dari Irak.
Sayang, situasi yang genting membuatnya tidak bisa menemui ulama yang sedang menggerakkan revolusi rakyat dari Paris itu.
Setelah kemenangan revolusi Islam Iran dan Iran berubah menjadi Republik Islam, tantangannya menjadi lebih berat.
Jalan lebih terjal harus dilaluinya. Molkara mendapat reaksi keras dari pemerintah karena identitasnya.
Dia yang sebelumnya bekerja di radio dan televisi nasional Iran akhirnya dipecat karena menolak dipaksa memakai pakaian maskulin.
Pada awal perang Irak-Iran dia mendaftarkan diri sebagai perawat di garis depan.
Keraguan atas jenis kelaminnya membuat dia harus melalui rangkaian interogasi. Dia bahkan disuntik dengan hormon pria di luar keinginannya, dan ditahan di institusi psikiatri. Akbar Hashemi Rafsanjani yg mengetahui kondisinya meminta dia dibebaskan.
Molkara tidak menyerah dan berusaha
bertemu dengan ulama berpengaruh saat itu. Pada tahun 1984, ia kembali menulis surat kepada Ayatullah Ruhollah Khomeini, tapi lagi-lagi jawabannya serupa dengan fatwa pertama. Tidak ada jalan lain menurutnya, harus bertemu Imam Khomeini langsung dan menjelaskan situasinya sedetailnya.
Dia mencoba bertemu dengan Ayatullah Khomeini di Jamaran, Teheran Utara. Tapi itu bukan pekerjaan yang mudah karena Jamaran dijaga ketat. Molkara mengenakan jas, berpenampilan sebagaimana laki-laki, membungkus Alquran dengan bendera Iran.
Agen keamanan menghentikan dan menginterogasinya. Terjadi keributan.
Ayatullah Hassan Pasandideh (kakak Imam Khomeini) yang melihat insiden itu mengizinkan Molkara masuk dan
membawanya ke dalam rumah.
Setibanya di dalam, karena masih harus melalui penjagaan yang berlapis, petugas keamanan mencurigai bentuk dadanya dan mengira dia membawa bahan peledak.
Dia menolak diperiksa dan berteriak, “Saya perempuan…saya perempuan.”
Molkara dengan kecenderungan mengenakan pakaian feminim, sebelumnya pernah melakukan suntik hormon pada dadanya.
“Sayup-sayup saya mendengar Imam Khomeini marah kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata mengapa kalian memperlakukan seseorang yang berlindung pada kami seperti ini dan melecehkan orang ini”.
“Imam Khomeini berulang kali berkata
tentang saya, dia adalah hamba Allah,” jelasnya.
Atas perintah Imam, dia diberikan kain cadur untuk menutupi tubuh dan rambutnya.
Singkat cerita, Imam kemudian berkonsultasi dengan tiga dokter kepercayaannya dan menanyakan perbedaan antara transgender dan biseksual.
Kemudian terjadilah peristiwa bersejarah, pemimpin spritual rakyat Iran itu menulis di sebuah kertas dengan bubuhan tanda tangannya.
Molkara dengan tersenyum bahagia
meninggalkan rumah Imam Khomeini
dengan membawa surat di tangannya.
Surat itu berisi fatwa Imam yang
mengizinkan Molkara dan semua
transgender di Iran untuk melakukan
operasi mengubah jenis kelamin mereka.
Imam Khomeini memutuskan bahwa
operasi penggantian kelamin diperlukan untuk memungkinkan Molkara dan mereka yang memiliki gangguan yang sama. Operasi Molkara dilakukan di Thailand dengan biaya sepenuhnya dari pemerintah Iran. Pemerintah Iran pun memberikan identitas baru dengan nama lengkap, Maryam Khatoonpour Molkara.
Maryam Khatoon kemudian menjadi aktivis dengan menjalankan kampanye masyarakat Iran mendukung Individu dengan Gangguan Identitas Gender. Untuk memudahkan kampanyenya itu, dia mendirikan organisasi The Iranian Society to Support Individuals with Gender Identity Disorder (ISIGID).
LSM ini resmi di bawah pengawasan
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk pemenuhan hak-hak transgender di Iran. LSM ini aktif memberikan penyuluhan, bimbingan dan bantuan pengobatan kepada mereka yang mengalami gangguan identitas gender.
Melalui fatwa Imam Khomeini yang disebut sebagai lisensi pertama di semua agama dan di seluruh dunia yang membolehkan operasi transeksual, di Iran tidak ada identitas individu yang tidak jelas kelompok seksnya.
Tidak dikenal waria (wanita-pria).
Dengan fatwa ini, mereka yang mengalami gangguan identitas gender bisa menjalankan kewajiban agamanya dengan tenang dan mereka juga mendapat statusnya yang terhormat di tengah-tengah masyarakat.
Visi terbuka Ayatullah Khomeini dan kegigihan Maryam Khatoon membuat tidak hanya kaum trans Iran, tetapi semua kaum trans Muslimin di dunia merasa nyaman. Setidaknya harus ada dua syarat untuk operasi pergantian jenis kelamin menurut fukaha Syiah: gangguan transgender adalah nyata dan pasti setelah melalui rangkaian diagnosa secara medis dan psikologis, sehingga orang yang masih tahap dicurigai mengidap gangguan tidak diperbolehkan untuk mengubah jenis kelaminnya.
Kedua, “penggantian jenis kelamin harus terjadi sepenuhnya”. Artinya, setelah operasi, yang sebelumnya berfisik laki-laki menjadi sepenuhnya perempuan atau sebaliknya.
Maryam Khatunpour Molkara meninggal dunia karena stroke di rumahnya pada 25 Maret 2012, dan dimakamkan sebagai muslimah di tempat kelahirannya di Abkenar, Bandar Anzali.
Di Indonesia, Dorce Gamalama memiliki nasib yang berbeda. Karena MUI menetapkan penggantian jenis kelamin adalah haram, maka operasi penggantian kelamin yang dilakukan oleh Dedi Yuliardi Ashadi pada tahun 1984 itu tidak pernah diakui otoritas agama di Indonesia.
Meski sepanjang umurnya sejak berganti nama menjadi Dorce menjalankan ajaran agamanya sebagai muslimah, dia dimakamkan sebagai laki-laki.
Ismail Amin Pasannai