Secara antropologis dan sosiologis sesuai hukum dialektikal tindakan apapun, termasuk pernyataan di ruang publik dari siapapun, apalagi punya kekuasaan struktural atau kultural (baca : agama) atau yang punya pengaruh luas karena kaya, tenar atau lainnya pasti mengundang reaksi yang menegasinya.
Seorang figur politik yang disegani karena keberaniannya melawan korupsi bisa tumbang seolah tak punya nilai apapun bila keceplosan membuat sebuah pernyataan yang diframing oleh satu orang sebagai pelecehan atau diskriminasi di ruang media sosial meski tak bermaksud melakukannya.
Seorang artis yang dikagumi bisa jadi gawang hujatan masif karena salah satu video atau fotonya diframing oleh seseorang sebagai perselingkuhan. Walaupun membantah dan menganggapnya sebagai fitnah, algoritma tak punya empati untuk mengasihininya lalu memulihkan posisinya .
Framing dengan menguasai linimasa di semua platform medsos dengan narasi rusak dan detail per detik menggenjot adrenaline dan energi kinetik sedemikian masif tanpa jeda bisa menimbulkan pengaruh yang lebih kolosal dan engegementnya lebih luas bila objeknya tidak personal tapi komunal apalagi dibumbui dengan jargon primordial.
Dalam setahun ini youtube berbahasa Indonesia didominasi oleh narasi-narasi kebencian rasial kepada komunitas keturunan Arab yang berkakek moyang pendatang dari Yaman. Karena luas sebarannya, muncul banyak youtuber baru yang cuma mengulang-ulang narasi kebencian demi monotesasi.
Penyebaran konten kebencian rasial dan diskriminasi tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat secara keseluruhan. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap kebijakan komunitas dan nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam berinteraksi di platform online.
YouTube, sebagai platform besar dan berpengaruh, seharusnya bertanggung jawab untuk mengawasi konten yang diunggah dan memberikan tindakan tegas terhadap konten yang melanggar kebijakan komunitas. Memonitor konten yang menimbulkan kebencian dan diskriminasi serta mengambil langkah-langkah untuk menghapusnya adalah langkah yang perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan online yang aman dan inklusif bagi semua pengguna.
Dalam polemik nasab yang berujung pada propaganda anti kelompok etnis Baalwii dan keturunan Yaman yang kini distigma “imigran Yaman” sudah bukan lagi mencari kebenaran atas nama penelitian ilmiah, tapi para pembatal nasab itu melakukan kebohongan dan fitnah secara kontinyu atas dasar kebencian. Sayangnya kebanyakan kalangan awam memang tidak punya reseptor yang bisa memproses mana yang benar dan mana yang salah, khususnya jika informasi itu disebarkan secara masif.
Efek ilusi kebenaran (disebut juga efek keabsahan, pengaruh kebenaran, atau efek pengulangan) adalah fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai suatu kebenaran, setelah adanya proses repetisi atau pengulangan.
Efek ilusi kebenaran ini pertama kali diperkenalkan lewat penelitian yang dilakukan oleh Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino pada tahun 1977. Pada penelitian ini, sekelompok responden diberikan 60 pernyataan (ada yang benar ada yang salah) dan diminta untuk menandai apakah pernyataan itu benar atau salah menurut mereka. Dua minggu kemudian mereka kembali diberikan 60 pernyataan yang lain yang 20 diantaranya sudah diberikan di awal penelitian. Para peneliti menemukan bahwa responden-responden ini menganggap pernyataan yang sudah pernah mereka baca sebelumnya sebagai kebenaran.
Mungkin kelihatannya sederhana bagaimana suatu informasi memiliki efek yang besar hanya dengan repetisi. Tapi tepat seperti itulah yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang psikologi. Repetisi adalah metode persuasi yang paling mudah dan paling banyak digunakan. Kita bisa melihat efek repetisi ini di berbagai bidang. Di bidang politik, di dunia periklanan atau di industri media, termasuk juga masalah nasab yang ramai diperdebatkan di medsos saat ini.
Para peneliti menyatakan fenomena efek ilusi kebenaran ini timbul karena adanya perasaan familier. Pada saat kita mendengar satu informasi berulang-ulang, secara otomatis informasi itu familiar atau akrab dengan kita. Dan otak manusia menerjemahkan perasaan familier ini sebagai kebenaran, karena otak kita cenderung lebih mudah memproses sesuatu yang sudah kita kenali sebelumnya. Ini disebut kelancaran kognitif.
Pola ini dilakukan sedemikian gencar dan dipastikan mendapat efek luar biasa dengan matematika digital yang simplenya kita sebut Algoritma tadi.
Satu isu—dengan liar dan tak terkendali—hanya karena lebih dulu dicangkok sebagai tema yang diusung dan di kontenkan, mendapat treatment server platform digital terus menerus. Logika algoritma yang salah satu kebrutalannya adalah menghitung konten serupa—dalam waktu yang terus menerus, cepat, seragam—sebagai sebuah “keramaian” yg ujungnya adalah feedback tranksasional para pengiklan, tak memberi kesempatan apapun pada status konten dan informasi yang ada.
Algoritma server mengambil ini hanya untuk menarik penggiat bisnis global pada kue iklan yang bernilai milyar dollar. Kue iklan yg dikeruk—digondol oleh multi platform sosial media digital inilah yg menjadi alasan mengapa “banyak-banyak-an” konten serupa dan tetap menjaga isu nasab terus meruncing menjadi lebih masuk akal.
Sayangnya, kita adalah anak bangsa yg menjadi subject dan object gerak semu kapitalisme global dan kini ramai disebut trending.
ML 20052024