Mayoritas masyarakat menyambut baik vonis mati Sambo. Banyak pejabat, pakar, dan influencer mengacungi jempol. Sebagian malah karena sudah sangat membenci dan tak melihat secuilpun kebaikan dalam diri tervonis mendesak eksekusi segera dilaksanakan karena khawatir dibebaskan beberapa tahun kemudian dengan alasan berkelakuan baik.
Seorang pejabat tinggi bidang hukum yang sering berbicara tentang kasus Duren Tiga itu menganggap vonis tersebut memenuhi rasa keadilan publik. Penyataan tersebut seolah mengkonfirmasi bahwa vonis yang dijatuhkan hakim sebagai respon atas vonis opini dominan yang telah ditetapkan sebelumnya di media sosial.
Boleh jadi tidak sedikit orang yang berusaha bertahan tidak mengikuti arus opini ini, namun memilih diam seraya mengamati sisi lain dalam kasus ini di luar domain jurisprudensi dan peradilan.
Secara umum di dunia ada dua mazhab atau sistem peradilan yang masing-masing memberikan konsekuensi hukum yang kerap berbeda bahkan bertolak belakang secara diametrikal.
Salah satunya adalah sistem Common Law (Anglo Saxon), yaitu sistem hukum yang memuat tiga karakteristik; yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, dianutnya sistem preseden (doktrin stare decicis) dan terdapatnya adversary system dalam peradilannya. Dengan sistem ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang berkembang melalui putusan-putusan pengadilan.
Dalam sistem ini hakim bukanlah penguasa tunggal dan pemegang otoritas mutlak, namun diberi wewenang menggunakan staredecicis atau keputusan hakim terdahulu untuk perkara yang sejenis sebagai dasar pembenaran keputusan. Ia berposisi sebagai pemeriksa dan pemberi keputusan hukuman, setelah juri menentukan dan memutuskan terdakwa bersalah dan tidaknya.
Secara umum proses persidangan dalam Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat ini terdiri dari beberapa pihak, yakni Hakim, Penuntut Umum, Pengacara, Terdakwa, Korban, Saksi, dan Juri. Juri memberikan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam suatu kesimpulan singkat. Selanjutnya hakim memutuskan beratnya hukuman bagi terdakwa.
Kedua adalah sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental), yaitu sistem hukum yang terdiri atas tiga ciri khas hukum yang dikofikasikan, hakim tidak terikat sistem preseden (doktrin stare decicis) dan hakim berpengaruh besar mengarahkan dan memutuskan perkara (inkuisitorial).
Dalam sistem ini hakim yang terikat oleh undang-undang tertulis, memegang otoritas tertinggi dan posisi sentral dalam menentukan secara langsung bersalah dan tidaknya terdakwa sekaligus menetapkan hukumannya.
Uniknya, dalam kasus Sambo, dua sistem itu terkesan diterapkan secara implisit. Di satu sisi, memberi hak mutlak kepada hakim untuk memeriksa dan menetapkan bersalah dan tidak , juga menjatuhkan vonis hukuman berdasarkan fakta-fakta hukum. Di sisi lain menyertakan preseden atau opini yang dibentuk atau kecenderungan yang dominan di tengah masyarakat sebagai referensi putusannya. Vonis pengadilan menjustifikasi vonis medsos. Bedanya, juri berada di luar ruang sidang, yaitu publik yang terlanjur ikut menghendaki hakim memutuskan dan menjatuhkan vonis mati karena telah terframing oleh industri polarisasi atau diarahkan oleh tokoh politik yang menampilkan diri sebagai manifestasi rasa keadilan publik dalam kasus ini.
Ketika mazhab peradilan tak jelas, hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk dapat menafsirkan peraturan hukum yang berlaku, juga mengikuti gemuruh opini umum yang terlalu besar untuk dilawan. Tak heran bila pembunuh langsung yang dilukiskan di luar ruang sidang sebagai pahlawan yang kebanjiran simpati diberi hukuman paling ringan dalam sejarah hukum pidana di dunia, dan orang yang selama persidangan bersikap tenang dan sopan mengaku berulang kali bertindak karena emosi alias tak berencana, karena terlanjur dibenci, dicabut haknya untuk melanjutkan hidup demi menjaga kehormatan keluarga dan nama baik puteri semata wayangnya.
Tidakkah perbuatan yang salah secara hukum itu diakuinya sebagai reaksi dan akibat amarah luar biasa setelah mendengar pengakuan isterinya yang dilecehkan mengafirmasi bahwa itu adalah aksi spontan? Bukankah tindakan yang diketahuinya menghancurkan nama baik dan jabatannya menguak kehendak mempertahankan kehormatan dirinya sebagai lelaki, suami dan ayah sebagai motif di baliknya?
Terlepas dari persoalan dua sistem peradilan dan dugaan ambiguitas penerapannya dalam kasus tertentu, pernyataan “memenuhi rasa keadilan publik” adalah klausa problematik. Bila keadilan ditentukan oleh opini publik yang sangat mungkin diframing oleh kelompok politik tertentu atau digiring oleh sebagian orang yang mencari penghasilan monetizing dengan meramaikan polrisasi dan clickbait, maka pengadilan bisa kehilangan substansi dam hanya menjadi simbol semata. Tak ada parameter ajeg dan terverifikasi tentang “rasa keadilan” versi publik kecuali penggiringan dan amplifikasi.
Tak cuma dalam kasus hukum pidana, dalam persoalan agama dan aliran juga kelompok keyakinan (minoritas) yang terlanjur divonis sesat oleh publik karena penggiringan narasi kebencian, takkan diberi hak jawab dan kesempatan menjelaskan keyakinannya. Kelompok ini terlanjur menjadi terdakwa di ruang publik intoleran di luar ruang dialog seolah tak ada secuilpun yang layak didengar dan semua ajarannya adalah kejahatan atau kebaikan palsu. Suaranya tertelan ditelan bising hiruk pikuk vonis sesat.
ML 20022023