R.Haidar Alwi, presiden HAI dan HAC, tokoh toleransi Indonesia
Kualitas seseorang diukur tidak dari kepandaiannya atau ilmu yang dimilikinya tapi dari cara dia menghormati ilmunya dengan menyikapi sebuah isu dan fenomena secara rasional dan proporsional.
Saya mendapatkan kiriman teman sebuah tulisan berjudul “Menyembah Pohon”. Pada bagian pengantar atau captionnya tercantum sebuah nama yang diharapkan dianggap oleh setiap pembaca sebagai penulisnya dengan gelar profesor dan nama institusi pendidikan negeri yang terpandang di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tentu saja banyak yang keder melihat gelar akademik dan nama perguruan tinggi seraya mengabaikan kualitas konten karena taken for granted. Saya dan banyak orang yang berusaha mengutamakan apa atas siapa dan mendahulukan argumentasi atas sensasi menemukan banyak hiperbola yang bisa ditafsirkan sebagai provokasi, ujaran kebencian terhadap ras bahkan agama meski diselingi dengan pengakuan diri Muslim agar terbaca wajar.
Tapi yang paling tidak intelektual dan tidak mencerminkan nalar keprofesoran adalah ancaman genosida etnis !Arab dalam diksi impliisit “Jangan salahkan kalau ras Bahar Smith akan menjadi musuh bersama. “
Tulisan seorang akademisi lazimnya dperlakukan sebagai karya intelektual bernilai tinggi dan cetusan ide fundamental yang disajikan oleh sebuah media informasi yang kredibel dan berwibawa, tidak beredar seperti postingan ecek-ecek di medsos tanpa format tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
Tulisan demikian, apalagi memuat aneka pernyataan sangat sensitif yang sangat mungkin berimplikasi hukum juga politik dapat dengan mudah dibantah oleh pemilik nama dengan tuduhan pencatutan bila ada warga yang melakukan cross check dan veriikasi juga bisa dibantah dengan dusta karena tendensi negatif.
Profesor adalah gelar akademik tertinggi yang diberikan kepada seseorang di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya, penyandangnya mesti mencerminkan karakter edukator level tertinggi dan kualitas intelektual yang prima dalam pikiran dan tindakan juga kesadaran penuh akan luas dan sempitnya efek positif dan negati yang ditimbulkannya.
Tulisan itu dapat dipahami dengan mudah sebagai bantahan dan kritik terhadap satu orang bernama Bahar Smith atau pembelaan atas seseorang bernama Dudung Abdurrahman yang menjadi objek pernyataan ofensif Bahar. Saya dan banyak orang lain bisa memahami tulisan ini ditujukan kepada semua seluruh habib juga jutaan warga negara keturunan Arab baik yang mendukung Bahar atau mengecamnya, bahkan bisa dipahami sebagai upaya memposisikan diri sebagai pembela seluruh warga non keturunan Arab yang secara nakal diganti dengan kata pribumi bahkan bangsa Indonesia demi menegaskan ide diskriminasi bahwa seluruh habib juga keturunan Arab bukan pribumi dan selain bangsa Indonesia.
Orang yang pakar dalam sebuah bidang ilmu tak niscaya mengerti ilmu lainnya. Karena itu, saya berharap Bapak Profesor berkenan bersikap rendah hati menerima bantahan saya disertai permohonan maaf atas kelancangan saya.
Kata “Arab” perlu dipahami secara benar. Ia adalah nama bagi ras, bangsa dan bahasa. Ia bukan nama negara. Arab sebagai bangsa adalah masyarakat yang merupakan penduduk mayoritas sebuah negara. Arab sebagai etnis dan ras tidak mesti menjadi bangsa Arab. Sebagian yang berasal dari ras berkumpul dalam satu wilayah sebagai bangsa, dan sebagian lain menyebar ke seluruh sebagai diaspora dan menjadi bagian dari aneka bangsa sebuah negara. Bangsa Arab (Bahasa Arab: عرب ‘Arab) adalah salah satu dari suku bangsa Semitik yang mayoritas adalah penduduk di Dunia Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Utara, serta sebagian minoritas penduduk di Iran, Turki serta komunitas diaspora lainnya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Seseorang umumnya dianggap sebagai Arab dilihat dari latar-belakangnya, baik secara etnis, bahasa, maupun budaya. Secara politis, orang Arab adalah mereka yang berbahasa ibu Arab dan berayah keturunan Arab pula.
Suku-suku Arab terdiri dari: A) Ba’idah (العرب البائدة): artinya punah, merupakan suku yang pernah tinggal di Jazirah Arab dan telah punah, seperti ʿĀd, Tsamud, Tasam, Jadis, Imlaq dan lainnya; B) Qahtani (العرب العاربة): Merekalah yang dianggap sebagai Arab asli yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahtan bin Hud, sering pula dikenal dengan Arab Qahtan. Sebagian besar dari mereka tinggal di Yaman dan kemudian menyebar ke daerah lainnya; C) Adnani ( العرب المستعربة). Mereka berasal dari keturunan Ismail (Bani Ismail) melalui anaknya Adnan. Suku Adnan yang dikenal dengan nama Quraisy adalan keturunannya. Quraisy (bahasa Arab: قريش الأمة ) adalah suku bangsa Arab keturunan Ibrahim, yang menetap di kota Mekkah dan daerah sekitarnya. Klan-klan yang menetap di tengah kota disebut ‘Quraisy Lembah’ (Quraisy al-Batha), sementara yang menetap di daerah sekeliling kota disebut ‘Quraisy Pinggiran’ (Quraisy az-Zawahir).
Seiring perjalanan waktu meski bukan Arab asli, Quraisy menjadi suku terkemuka di Mekkah yang terbagi dalam beberapa klan, masing-masing memiliki tanggung jawab yang berbeda atas kota Mekkah dan Ka’bah. Ada sekitar 9 sub suku (klan) dalam suku Quraisy, antara lain Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Kindah, Bani Asad, Bani Adi dan lainnya.
Bani Hasyim (bahasa Arab: بنو هاشم, Banu Hasyim) adalah salah satu klan dalam suku Quraisy yang merujuk kepada Hasyim bin Abdul Manaf. Hasyim adalah ayah dari kakek Nabi Muhammad S.A.W.. Anggota dari klan ini juga dapat disebut dengan al-Hasyimiyyun (الهاشميون,: Hashemites).
Nabi Muhammad adalah keturunan Bani Hasyim yang merupakan salah satu klan dari Quraisy (suku musta’ribah, bukan Arab asli). Dari pernikahannya dengan Siti Khadijah, lahirlah Siti Fatimah. Dari pernikahan Fatimiah puteri Nabi Muhammad dengan Ali putera Abu Talib, yang merupakan paman terdekat dan pelindung Nabi SAW, lahirlah Al-Hasan dan Al-Husain dan Zainab.
Salah satu cucu Ali Al-Uraidhi adalah Ahmad Al-Muhajir. Akibat tekanan penguasa, dia meninggalkan Basrah di Irak bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M dan berhijrah ke Hadramaut di Yaman Selatan. Cucu Ahmad Al-Muhajir, yang bernama Muhammad bin Ali Ba Alawi, adalah orang pertama dari keturunan Nabi yang dilahirkan di Hadramaut.
Alawiyyin (arab: العلويّن) adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad. Sebutan lain untuk Alawiyyin adalah Ba’ Alawi. Ba’ Alawi ialah gelar yang diberi kepada mereka yang memiliki keturunan dari Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir. Seorang Ba ‘Alawi juga dikenali dengan sebutan Sayyid (Saadah, untuk sebutan jamaknya). Sebutan Habib adalah panggilan khas lainnya kepada kelompok keluarga ini.
Keturunan Arab adalah sebutan umum untuk semua yang kakeknya datang dari Hadramaut ke Nusantara meliputi Alawiyin dan non Alawiyin. Mereka diperkirakan telah datang ke Indonesia sejak abad ke-13. Sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah seperti “Basyeiban” dan “Haneman”, di Indonesia masih dapat ditemukan. Hal ini karena keturunan Arab Hadramaut di Indonesia saat ini jumlahnya diperkirakan lebih besar daripada di tempat leluhurnya sendiri, termasuk Raden kesultanan Palembang Darussalam merupakan keturunan Arab Hadramaut dan kakek saya ke7, Sultan Badarudin di Palembang
Keturunan Arab di Indonesia terdiri atas ragam nama keluarga besar atau marga. Marga Arab Hadramaut (Fam Arab) merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai oleh keturunan bangsa Arab yang berasal dari daerah Hadramaut, Yaman. Penamaan marga sendiri dipilih berdasarkan kabilah, tempat asal, sejarah, kebiasaan, atau sifat serta nama nenek moyang golongan tersebut.
Para alawiyin (sebutan lain para sayyid dan habib) adalah cucu keturunan Al-Faqih Al-Muqaddam yang sebenarnya bukan warga asli Yaman namun pendatang dari Basrah Irak. Artinya, secara historis kedatangan kaum habib ke Nusantara adalah kelanjutan dari hijrah demi hijrah sebelumnya yang berawal dari hijrah kakek mereka dari Mekah ke Madinah. Artinya, keturunan alawiyin (habib) bukanlah penduduk asli Yaman seperti non alawiyin lainnya yang memang Arab dan Yamani asli.
Mestinya para alawiyin tidak menganggap diri mereka sebagai keturunan Arab. Mestinya pula alawiyin tidak diidentikkan dengan etnis Arab. Faktanya yang secara etnis Arab adalah keturunan Arab non Alawiyin.
Di Malaysia setiap warga yang dikenal sayyid ditetapkan secara kultural dan formal sebagian dari etnis Melayu. Nampaknya ini juga berlaku di Aceh. Di Iran juga di India, di daerah-daerah Kurdi dan negara-negara non Arab sayyid tidak dianggap Arab tapi sayid di Irak dan negara-negara Arab dianggap bagian dari Arab. Intinya, status kesayyidan tidak diperlakukan sebagai bagian dari Arab.
Secara umum keturunan Arab di Indonesia dapat dibagi dua; Golongan pertama yaitu marga-marga keturunan suku Arab Yaman asli, umumnya mengklaim sebagai keturunan Hadhramaut bin Gahtan, yang merupakan keturunan Nabi Nuh. Golongan kedua yaitu marga-marga suku Arab yang hijrah dari Basra, Irak.
Para alawiyin di Indonesia mempunyai nenek moyang non-syarifah, dimana para Sayyid yang datang ke Nusantara setelah abad ke-18 tidak membawa wanita-wanita mereka dan kemudian menikahi wanita-wanita pribumi. Kaum muwallad Arab suka menyebut orang-orang pribumi non-Arab sebagai ahwal ( paman atau saudara ibu mereka).
Keturunan Arab bukan orang Arab dan bukan orang Yaman. Mereka adalah salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia. Ia berdiri sejajar dengan setiap warga dari suku Jawa, Batak, Melayu dan lainnya dalam satu identitas bersama, yaitu bangsa Indonesia. Orang-orang keturunan Arab (alawi dan yamani) harus sadar itu. Warga dari suku-suku lainnya juga perlu menyadari itu.
Soal kata “numpang”, selain mencerminkan arogansi primitif, hanyalah delusi supremasi rasial dengan klaim keaslian sebagai penduduk. Kenyataannya, tidak ada pribumi dan seluruh warga Indonesia adalah pendatang yang ahistoris dan bugil dari fakta saintifik. Temuan ini adalah hasil penelitian genetika oleh Eijkman Institute for Molecular Biology. Para peneliti telah berkeliling ke 19 pulau di Indonesia dan mengetes DNA warga dari 130 suku selama bertahun-tahun.
Frasa itu, selain tak beradab, ahistoris dan tak empiris, juga inkonstitusional. Presiden Habibie, yang menjabat persis setelah Soeharto, mengeluarkan Instruksi Presiden No 26 Tahun 1998 yang melarang penggunaan kata (dikotomis) pribumi/non-pribumi oleh pejabat publik.
Bila ulah Bahar Smith dianggap melukai bangsa Indonesia, maka kami, keturunan Arab, sebagai bagian integral bangsa juga terluka, bahkan lebih kesal dan malu. Tapi membalas orang biadab yang rasis dengan narasi rasisme tak ubahnya membalas gonggongan anjing dengan gonggongan. Ironis memang. Seorang rektor yang mestinya sibuk mengelola perguruan tinggi negeri demi mencetak manusia-manusia Indonesia yang cerdas, toleran dan santum mesti repot menjelaskan tentang prinsip kebertuhanan perennial yang merupakan iman fitri setiap manusia kapan dan di manapun, hanya demi menanggapi seorang tak berpendidikan yang menjadi tenar hanya karena melakukan tindakan yang orang waras tak sudi melakukannya.
Dengan segala respek kepada profesor Budi S., rektor ITN, saya dan banyak warga keturunan Arab keberatan bila seorang Bahar Smith dijadikan sebagai representasi semua keturunan Arab.
Saya memohon Pak profesor dan semua pihak yang mengecam aksi tolol dan pernyataan biadab Bahar Smith merenungkan bahwa satu pernyataan yang ditulis dengan emosi spontan dan kesalahpahaman bisa menjadi pemicu sebuah genosida satu etnis dan menghancurkan sebuah bangsa.
Soal “menyembah pohon”, yng lebih buruk dari menyembah pohon adalah merasa menyembah Tuhan padahal menyembah diri sendiri. Semoga Allah, Tuhan, Sang Hyang, God, Lord, Theos dan apapun namaNya memberkati kita, bangsa Indonesia. Merdeka!
#############################
Tulisan profesor Rektor ITK tentang penghinaan mantan narapidana Bahar Smith kepada KSAD Jenderal Dudung Abdulrahman merupakan PENGHINAAN kepada Bangsa Indonesia bukan semata-mata kepada KSAD.
“MENYEMBAH POHON”
Ketika Bahar Smith (Arab) bilang bahwa kalau nggak ada orang Arab, Dudung masih menyembah pohon, maka dia telah salah besar memahami kehidupan spiritual orang2 Nusantara. Dia telah melecehkan kaum pribumi. Iya saya menyebut kaum pribumi untuk membedakan dengan kaum pendatang dari Timur Tengah yang arogan dan merasa superior.
Bahar nggak paham tentang kehidupan spiritual bangsa ini. Sebelum Hindu Buddha datang, orang Jawa Kuno sudah punya kepercayaan Kapitayan. Mereka menyembang Sanghyang Taya, sesuatu yang suwung, kosong , tidak bisa dinalar dan di kuantifikasi. Orang Sunda sudah punya kepercayaan Sunda Wiwitan yang menyembah Sang Hyang Reksa, yang punya kehendak, yang punya karsa, yang memelihara.
Orang Hindu pun percaya kepada Sang Hyang, sebutan untuk Tuhan. Sebelum Islam datang, orang2 Nusantara sudah tahu cara bertuhan. Tetapi itu sering diremehkan oleh para guru agama, lalu disalahkan, dikafirkan. Orang Jawa (Nusantara) tidak sebodoh itu dalam hal spiritualisme.
Kalau mereka disebut penganut animisme-dinamisme bukan berarti mereka menyembah pohon. Mereka percaya tanaman, batu, hewan, semua makhluk punya kekuatan. Mereka perwujudan Tuuhan dan harus dihargai dan diberi kesempatn hidup. Tuhan hadir di benda2 itu. Mereka menyembah Tuhan dengan sarana pohon , batu dsb. Orang Hindu ke Pura untuk bersembahyang bukan untuk memuja Pura. Mirip orang Islam jauh2 ke Arab untuk mengelilingi Ka’bah. Itu hanya sarana. Yang mereka sembah Tuhan. Walau memang ada yang menuhankan batu kotak itu, bahkan berebut memegang/mencium hajar aswat, padahal itu cuma batu hitam. Mirip dengan mereka yang menyebut infrastruktur tidak enak dimakan. Memang infrastrukur itu sarana untuk mencari makan, mirip ka’bah atau candi atau pura. Otak cethek memang susah diajak maju.
Orang islam percaya Tuhan itu dekat dengan urat nadi, di sisi lain Tuhan bersemayanm di arsyi, di langit ke tujuh. Malah kadang Tuhan itu dimanusiakan, secara fisik, mirip seperti imajinasi manusia: duduk di singgasana, gampang marah, gampang menghukum, murka kalau nggak disembah. Kalau mau jujur cara orang Islam menggambarkan Tuhan malah kalah canggih dengan penganut Kapitayan yang menyebutnya SangHyang Taya, suwung, kosong, sulit digambarkan atau diasosiasikan dengan sesuatu.
Jadi kalau Bahar paham, dia tidak seharusnya merendahkan Pak Dudung dan kita bangsa Indonesia. Coba lihat siap yang punya pabrik, industri, bank swasta, penerbangan swasta, perusahaan bis? Apa merek yang merasa superior itu punya kontribusi ekonomi ke bangsa kita? kepada siapa rakyat pribumi bekerja dan mendapatkan gaji bulanan?
Jadi kalau di sini cuma numpang, tidak perlu arogan. Saya ikut tersinggung meski Bahar menyebut Dudung, Dudung adalah representasi rakyat Indonesia. Dengan sangat melecehkan cara dia menyebut KSAD TNI Jenderal Dudung
Mungkin dia tidak waras, mengalami gangguan jiwa, tetapi apa yang dia katakan dan beberapa orang yang selalu secara implisit menganggap ras Arab itu superior sesungguhnya sedang membuka jalan perpecahan di negeri ini. Orang2 begitu tidak bisa dbiarkan, akan merusak dan daya rusaknya makin luas. Banyak orang bodoh yang mau diperalat. Sehebat2nya orang pribumi memuja Rizieq atau Bahar, nggak akan Rizieq mengawinkan anaknya dengan orang Jawa. Mereka itu rasis dalam hal ini. Ini yang harus dipahami. Orang pribumi demikian terbuka dalam pergaulan, tetapi itu dimanfaatkan oleh segelintir pendatang.
Saya muslim tetapi saya tidak ingin melecehkan cara orang lain beragama atau bertuhan. Saya muslim tapi saya menghargai manusia dari kelakuan dan kinerjanya bukan dari ras apa. Saya muslim tapi saya menggunakan akal sehat untuk bertindak. Saya muslim tapi saya nggak mau membayar mahal atau antri bertahun2 sekedar untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Kalau cara Bahar Smith dan sejenisnya berkomunikasi tidak diubah, dia bisa memicu perpecahan di sini. Jangan salahkan kalau ras Bahar Smith akan menjadi musuh bersama.
Prof. Budi S. Purwokartiko
Rektor ITK