Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Hari-hari ini, twit-twit saya yang “tegas” membela Palestina, dan mengkritik Israel, beredar di banyak kalangan. Sikap saya dari dulu sebetulnya sama: berpihak pada Palestina. Hanya saja, saya belum pernah “sekeras” ini menyuarakan pendapat.
Yang mendorong saya bersikap seperti sekarang adalah satu: propaganda Israel untuk membenarkan kejahatannya terhadap warga Palestina mulai “ditelan” oleh sejumlah kalangan di Indonesia. Sebagian bahkan menyalahkan warga Palestina karena dianggap “memprovokasi” Israel sehingga melakukan tindakan balasan secara militer. Israel selalu menggunakan argumen “self defence,” pertahanan diri, seolah-olah rakyat Palestina yang hidup sengsara karena Tembok Penyekat (Noam Chomsky menyebutnya: Tembok Aneksasi) yang didirikan oleh Israel, tidak memiliki hak untuk mempertahankan diri juga.
Bagi saya, masalah Palestina ini sederhana: masalah keadilan dan penjajahan. Masalah Palestina sama sekali tidak kompleks. Yang mencoba merumit-rumitkan masalah ini, sebenarnya ingin mengaburkan masalah pokok di sana, yaitu masalah keadilan dan penjajahan. Masalah Palestina adalah sesederhana masalah Belanda datang dan menjajah Indonesia.
Penjajahan harus kita tolak!
***
Apakah dengan demikian saya menolak kehadiran negara Israel di tanah Arab? Tidak. Saya sejak dulu mendukung “solusi dua negara.” Israel adalah realitas politik yang tidak lagi bisa ditolak. Karena itu, solusi terbaik ke depan adalah berdirinya dua negara: Palestina dan Israel. Meskipun demikian, fakta dasar harus kita sadari: sejak dari awal berdiri pada 1948, negara Israel sudah mengandung masalah besar. Negara ini lahir dengan mengorbankan banyak nyawa. Sekitar 800 ribuan orang Palestina terusir dari tanah mereka, dan 550an kota dan desa disapu habis untuk memberikan “lahan” bagi negeri Israel. Pengusiran ini berlangung terus-menerus hingga sekarang.
Penyerobotan tanah orang Palestina berlangsung terus sampai saat ini, dan terakhir terjadi di perkampungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur.
Meski saya mengkritik Israel, saya menolak sikap anti-semitik atau anti-Yahudi. Kita harus mengkritik Israel sebagai entitas politik. Kita tidak boleh membenci bangsa Yahudi sebagai manusia. Di mana saja, manusia sama saja: ada yang baik, ada jahat. Kaidah ini berlaku bagi manusia Yahudi, Muslim, Kristen, dan lain-lain. Sekali lagi, saya mengkritik Israel sebagai entitas politik yang melakukan tindakan represif. Tetapi saya menolak sikap anti-semitisme.
***
Sikap saya yang tegas soal Palestina ini tampaknya mengagetkan sejumlah kalangan. Pertama, kalangan yang untuk mudahnya saja saya sebut “Islam kanan.” Mereka kaget, kok bisa seorang muslim yang selama ini disebut “liberal” bersikap tegas terhadap Israel. Orang-orang ini tampaknya tidak tahu, semua pemikir muslim liberal dan progresif, baik di Indonesia atau di dunia, membela Palestina. Gus Dur membela Palestina, dan menggagas Malam Puisi Palestina di TIM Jakarta pada tahun 80an. Cak Nur membela Palestina. Buya Syafii Maarif membela Palestina, etc. etc.
Kelompok kedua yang kaget adalah SEBAGIAN (dan ini pun tidak banyak) teman-teman di luar Islam. Saya tak mau menyebut mereka secara spesifik, tetapi saya tahu (saya punya “telinga” di mana-mana). Kelompok ini tampaknya akan gembira sekali jika saya mengkritik sesama golongan dalam Islam, seperti salafi, wahabi, HTI, ISIS, dll. Mereka tampaknya ingin agar saya fokus bicara yang mengarah kepada kritik atas “(kelompok) Islam.” Mereka tidak suka jika saya mengkritik Israel.
Sikap mereka ini agak mirip dengan sebagian kalangan yang belakangan sering disebut “new atheists” yang memiliki trauma pada agama, terutama Islam. Kelompok terakhir ini (tidak semua, hanya sebagian saja) juga sama: lebih suka mendengar intelektual muslim melontarkan kritik atas (wacana tentang) Islam. Tetapi mereka tidak suka jika intelektual muslim itu mengkritik Israel. Sebab, entah karena apa, mereka ini menjadi “apologet-apologet” atau pembela Israel.
Karena sikap yang tegas soal Paletina ini, saya bahkan dituduh sebagian kalangan sebagai “kadrun.” Bayangkan, betapa salah-kaprahnya label kadrun ini diarahkan secara semena-mena ke semua orang yang berbeda pendapat. Meskipun tertawa-geli dalam hati karena label aneh ini, saya tak bisa menyembunyikan keheranan.
Jika membela Palestina membuat seseorang menjadi kadrun, maka Gus Dur pun kadrun. Cak Nur pun kadrun. Gus Mus juga kadrun. Sebab Gus Mus menjadi inisiator Malam Puisi Palestina pada 2017 di TIM, melanjutkan inisiatif serupa yang digagas Gus Dur sebelumnya. PBNU pun kadrun!