Disclaimer :
Tulisan ini bukan hasil penelitian ilmiah dan penulisnya bukan nassabah (ahli nasab), bukan muarrikh (ahli sejarah), bukan penikmat gelar habib, tapi sekadar cetusan individu yang jenuh hidup dalam pusaran narasi kebencian dan resah membayang anak-anak calon sasaran akibat generalisasi vonis kebencia serta cinta Indonesia.
Dunia sosmed geger. Nasab Ba’Alawi digugat oleh seorang “peneliti” dan disimpulkan sebagai terputus berdasarkan buku nasab yang dipilihnya, karena tak mencantumkan nama Ubaidillah, kakek mereka yang diklaim sebagai putera Ahmad Al-Muhajir.
Karena tak menganggap garis keturunan dari siapapun sebagai prestasi, bahkan status dzurriyah Nabi SAW sebagai beban berat dan amanah besar, sebagian yang dikenal sebagai dzurriyah Nabi SAW tak mendeklarasikan kedzurriyahannya. Karena tak mendeklarasikannya, tak memajang gelar kedzurriyahan. Karena tak memajangnya, tak memperoleh perlakuan istimewa. Karena tak memperolehnya, tak menikmati statusnya. Karena tak menikmatinya, tak merasa unggul dan istimewa. Karena tak merasa istimewa, menganggap dirinya setara dengan sebagai sesama manusia. Karena merasa setara, tak membanggakan kedzurriyahannya. Karena tak membanggakannya, tak merendahkan yang bukan dzurriyah. Karena tak merendahkan yang bukan dzurriyah Nabi SAW, tak risau tak diakui sebagai dzurriyah Nabi SAW.
Andai saja berhenti pada kesimpulan ini, persoalannya menjadi sederhana. Bagaimanapun juga, mengafirmasi dan menegasi sesuatu, adalah hak individu yang patut dihargai. Toh, mayoritas alawiyin tak menikmati status kedzuriyyahan. Tapi ketika yang menikmati status kedzuriahan (yang jumlahnya lebih sedikit) dan yang tak menikmatinya sama sekali, diperlakukan sama oleh sebagian orang; divonis dalam satu paket sebagai gerombolan pendusta, penipu, penjual agama, penjual nasab dan aneka cacian serta kata kotor lainnya, persoalannya menjadi lebih kompleks dan implikasinya sangat luas.
Banyak awam yang terpengaruh oleh opini berbalut hasil penelitian ilmiah itu memuntahkan aneka comment caci maki yang tak pantas untuk ditulis ulang di sini. Serangan beringas dan intensif ini di media sosial menyemesta. Setiap alawi menjadi sasaran genosida opini ini.
Ada baiknya demi bersikap proporsional dan adil, kita memperhatikan poin-poin sebagai berikut :
Pertama
Klaim seseorang atas opininya sebagai hasil penelitian ilmiah adalah hak individu. Tapi persoalan mendasar bukan pada data tekstual yang diandalkan oleh pihak yang merasa telah melalukan riset ilmiah dengan merujuk kepada sebuah buku nasab yang dipilihnya karena masa penulisannya lebih lama, melainkan pada metodologi dan epistemologi. Setiap disiplin ilmu berbasis landasan episteme dan metode yang khas.
Perdebatan para ahli logika terkait identitas dan karekteristik sebuah ilmu tertuang ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
1. Identitas dan karekteristik ilmu berbeda dengan ilmu lainnya berdasarkan subjek kajiannya (baca: maudhu’).
2. Identitas dan karekteristik sebuah ilmu berbeda dengan ilmu lainnya berdasarkan tujuannya (ghayat ilmu).
3. Identitas dan karekteristik sebuah ilmu berbeda dengan ilmu lainnya berdasarkan “metodologi”-nya (baca: manhaj).
Mengabaikan metodologi berdampak fatal bagi keberlangsungan identitas serta karekteristik ilmu tersebut.
Ilmu sejarah bukanlah ilmu nasab (genealogi) meski dapat diasosiasikan secara umum dengan ilmu sejarah karena masing-masing menggunakan dua metodologi pencatatan dan dokumentasi yang berlainan. Karena dahulu teknologi pendataan dan sarana komunikasi serta informasi yang terverifikasi belum ditemukan, maka dasar pencatatan dalam kedua ilmu ini adalah info yang diterima secara subjektif. Ilmu sejarah dan ilmu nasab sama-sama mengandalkan kemutawatiran atau kepopuleran sesuai standar yang diyakini oleh orang yang diakui sebagai sejarawan dan genealogis. Setiap peneliti nasab mestinya mengetengahkan bukti-bukti sejarah untuk memperkuat itsbat nasab.Sayangnya, peneliti yang memvonis nasab komunitas Ba’Alawi sebagai terputus, mengabaikannya.
Kitab nasab memuat hasil penelusuran silsilah individu-individu tertentu berdasarkan kaidah universal dan parsial yang dipilih secara subjektif demi menghindari kesalahan data silsilahnya. Namun perbedaan dalam pencatatan di kitab-kitab nasab awal adalah hal yang biasa ditemukan. Berbagai kekurangan dan perbedaan ini diperbaiki oleh para muhaqqiq dan peneliti nasab selanjutnya.
Kedua
Syarat utama dan kaidah baku itsbat (konfirmasi) nasab adalah syuhrah (ketenaran) istifadhah (kesanteran) Ini disepakati semua mazhab. Catatan adalah pendukung, tapi tidak disyaratkan hidup sezaman. Salah satu faktor pendukung itsbat adalah taqrir dari ulama, penguasa/hakim.
“Peneliti” menyimpulkan kepalsuan nasab Bani Alawi dengan alasan nama Ubaidillah tidak tertulis dalam kitab yang ditulis oleh sejarawan
sezaman. Konsekuensi kesimpulan ini adalah penafian puluhan karya nassabiin yang mentahqiq kitab-kitab nasab pada abad-abad berikutnya sekaligus melucuti kredibilitas para ahli nasab yang menulis nama Ubaidillah sebagai putera Ahmad Al-Muhajir.
Alur pikiran “peneliti” terbaca mirip dengan alur pikiran parsdoksal Al-Albani yang tidak menghargai para ulama penulis enam kitab utama Ahlussunnah (kutub as-sittah) dengan dalih ditashih atau dikoreksi olehnya. Itu artinya, bila diterapkan atas ilmu hadis, pernyataan sang”peneliti” menegasi ototentisitas hadis-hadis dalam Kutub As-Sittah. Implikasi proposisi tersebut adalah penafian.
Ketiga
Karena yang dilaporkan adalah teks yang memuat peristiwa yang telah berlalu dan karena hanya mengandalkan info dan kesaksian, buku sejarah yang ditulis secara sederhana tidak bisa diverifikasi secara empiris, kecuali bila didukung oleh temuan situs yang dapat dibuktikan dalam arkeologi, maka buku sejarah terlama justru paling rentan terduga tercampur mitos. Sedangkan buku nasab yang juga didasarkan pada popularitas, karena yang menjadi objek pencatatan adalah individu-individu tertentu, maka keberadaan mereka yang secara popular ditetapkan sebagai keturunannya lebih mudah dikonfirmasi dengan menyertakan catatan-catatan manuskrip yang mengkonfirmasinya.
Laporan peristiwa dalam buku sejarah nyaris tak pernah sama karena setiap sejarawan hanya melaporkan info peristiwa yang terjangkau olehnya dengan segala keterbatasannya masing-masing. Itulah sebabnya, tanggal kelahiran Nabi SAW pun diperselisihkan. Catatan-catatan silsilah pun demikian. Bedanya, nama-nama dalam hierarki keturunan yang lazim disebut syajarah dapat dihubungkan dengan nama-nama lain yang berada di dalamnya. Karena itu, bila tak tercantum dalam buku induk yang merupakan produk kesaksian dan syuhrah serta istifadhah, tidak serta merta ditetapkan terputus atau palsu.
Keempat
Pembuktian nasab seseorang atau sekelompok orang dengan info tercatat mengundang kontranya. Artinya, bila keabsahan atau otentisitas hanya bisa dibuktikan melalui pencatatan pihak lain di luar kelompok tersebut, maka semua nasab dan silsilah yang tak tercatat, adalah palsu. Bila demikian, maka semua yang menjadi konsensus masyarakat yang tak ditulis dan dikutip dalam buku sejarah juga ulum naqliyah lainnya pada awalnya pun dianggap palsu.
Kelima
Tentang tuduhan terputusnya nasab Alawiyin sebagai hasil penelitian ilmiah, klarifikasinya sebagai berikut :
Soal terputusnya nasab Ubaidillah sebagaimana dituduhkan belakangan ini oleh satu atau beberapa gelintir orang, maka kesimpulan itu juga bisa berlaku atas tokoh-tokoh utama yang selama ini disepakati sebagai keturunan Nabi SAW.
Salah satunya adalah Sunan Giri. Ada dua versi nasab beliau. Sebagian menganggap nasabnya bersambung ke Imam Ali Zainal Abidin, putera Imam Husain dan meyakini beliau sebagai generasi ke-15 dari Nabi SAW.
Sebagian sejarawan meyakininya sebagai cucu Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah yang menikah dengan Dewi Sekardadu, puteri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Ia dianggap sebagai keturunan Nabi SAW, dari Sayyidina Hasan dengan mata rantai ke bawah sebagai berikut: Hasan al-Mutsanna, Abdullah Al-Kaamil, Musa Al-Jun, Abdullah, Musa, Dawud, Muhammad, Yahya Az-Zahid, Abdullah, Abu Sholeh Musa, Abdul Qodir, Sholeh, Abdul Aziz, Abdurrazaq, Abdul Jabbar Syu’aib, Abdul Qodir, Junaid Maulana Ishaq, Maulana Ya’qub, Maulana Muhammad Ainul Yaqin (Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudro)
Anggapan beliau sebagai keturunan Nabi SAW dari Al-Hasan tidak tertulis dalam kitab-kitab tua sezaman Syekh Abul-Qodir Al-Jailani yang menyatakan bahwa beliau mempunyai keturunan di Indonesia utamanya di Giri Kedhaton, Madura dan sebagian pulau Jawa. Syekh Abul-Qodir Al-Jailani hidup di abad ke 5-6H, sedangkan Sunan Giri hidup sekitar abad ke 8-9H. Selisihnya sekitar 3-4 abad.
Jika ada yang bersikeras, maka mestinya dia membuktikannya dengan hujjah primer Kitab abad 10, Abad 11, 12, 13, dan Abad 15 Masehi (sezaman Sunan Giri sendiri), sesuai sesumbar sang “peneliti”, bukan mengandalkan Serat tahun 1932 terbitan TAN KHOEN SWIE yang Isinya berbeda dengan serat asli karya Sunan Dalem/Sunan Giri II/Sunan Kidul dan tersimpan di PNRI yang juga hujjahnya dianggap lemah oleh sebagian sejarawan karena bersumber dari Serat Panengen terbitan Dinas Perpustakaan & Arsip Daerah Jogjakarta tahun 2018.
Hal yang sama bisa diterapkan atas Sunan Gunung Djati. Sanad garis nasab Sunan Giri dari Syekh Abul-Qodir Al-Jailani juga terputus selama lebih 10 Abad.
Kalau mengklaim bahwa Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Djati sebagai keturunan Imam Musa Al-Kazhim, justru sanad nasabnya terputus selama lebih dari 11 abad, karena hujjah yang diandalkan dianggap sangat lemah, yaitu manuskrip Keprabonan Abad 20 karya anonimus, bukan karya ahli nasab Peguron Keprabonan.
Di sisi lain, naskah negara kretabhumi yang disusun oleh Panembahan Tohpati P. Wangsakerta bin Panembahan Ratu Girilaya Kerajaan Islam Keraton Pakungwati yang umumnya dijadikan rujukan oleh masyarakat Cirebon, menjelaskan silsilah nasab Sunan Gunung Djati adalah Syarif Hidayatullahu bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ali Nurul Alam bin Jamaludin Husain bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul-Malik (yang lahir di Hadramaut dan bermukim di India) bin ali Al-Faqih Al-Muqaddam bin Muhamad bin Ali Khali’ Qosam bin Ahmad bin Ubaidillahi bin Ahmad Al-Muhajir hingga Syyidina Al-Husain.
Meskipun terdapat sedikit kesalahan penyebutan, terdapat benang merah antara silsilah Sunan Gunung Djati dalam naskah negara Kretabhumi dengan isi kitab Syams Al-Dhahirah yang disusun oleh Adur-Rahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur (1830 M).
Jika mengklaim bersambung, maka sang “peneliti” mesti membuktikannya secara Ilmiah sesuai sesumbarnya dengan sandaran kitab kuno sezaman dengan Imam Musa Al-Kazhim yang diklaim sebagai leluhur, yaitu kitab abad ke6 dan ke7 Masehi.
Jika tidak bisa membuktikan fakta nasab dua tokoh tersebut dengan dasar kitab ahli nasab sezaman Imam Musa Al-Kazhim dan sezaman Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani, maka penelitian yang diklaim ilmiah itu ekspresi over estimate.
Agar memenuhi syarat fairness, dia harus menerapkan standar penelitian itu atas Sunan Giri yang diklaim terhubung kepada Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani dan Sunan Gunung Djati yang nasabnya diklaim tersambung kepada Imam Musa Al-Kazhim, bukan hanya diterapkan atas Ubaidillah yang secara tendensius divonis bukan putera Ahmad. Al-Muhajir.
Nasab Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani pun tak bebas dari polemik.
1. Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani sendiri tidak pernah mengklaim nasab sebagai sayid di zamannya. Yang pertama kali mengklaim nasab beliau bersambung ke Imam Hasan adalah cucu beliau.
Dalam mukadimah kitab Abna’ Al-mam Al-Hasan wa Al-Husain Syekh As-Safarini mengutip surat dari gurunya, Syekh An-Nablusi yang menegaskan bahwa Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani bukankah dzuriyah Nabi SAW dari jalur Al-Hasan juga jalur Al-Husain.
2. Al-Fakhr Al-Razi yang hidup tidak lama setelah Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani tidak menyebutkan nama dan nasab Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani, juga ayahnya bahkan kakeknya. Al-Marwazi, ahli nasab setelahnyai.juga tak menyebutnya.
3. Terdapat perbedaan pendapat dan jalur nasab Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani di kalangan para ahli nasab yang hidup setelah zaman beliau . Ini membuat para sejarawan dan ahli nasab meragukan kebenarannya. Al-Umari dalam kitab nasabnya yang berjudul Al Majdi dan Ibn Inabah yang juga keturunan Imam Hasan dan dianggap sebagai rujukan dan pakar nasab abad ke 9 H dalam kitabnya Umdat Ath-Thalib fi Ansab Al Abi Thalib, meragukan nasab Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani
Kalau cara yang sama diterapkan, maka gugurlah nasab beliau, namun kita mempercayai para peneliti dan ahli nasab selanjutnya dan keluarga beliau yang mencatat nasab keluarganya, yang kesemuanya ini mengitsbat nasab beliau. Di sisi lain, tidak ada satu ahli nasab pun yang menafikan nasab Ba’ Alawi. Yang ada semua ahli nasab mengitsbat nasab Bani Alawi ini. Alhasil, kni ada 3 versi nasab Walisongo, yaitu Imam Hasan via Syekh Abdul-Qodir Al-Jailani, Imam Husain via Imam Musa Al-Kazhim dan Imam Husain via Ba’Alawi. Tapi karena syuhrah (ketenaran) dan istifadhah (kesanteran), kedzuriyyahan mereka dari jalur nasab manapun diterima.
Keenam
Soal tantangan tes DNA demi membuktikan ketersambungan nasab, maka faktanya Haplogroup G-M201 bukanlah haplogroup DNA untuk Yahudi (Bisa ditemukan di Internet soal Y DNA dengan haplogroup G-M201 ini), karena tes DNA melalui data dari buku Family Tree DNA sendiri adalah hoax Dengan kata lain, klaim bahwa Haplogroup DNA untuk Yahudi adalah G-M201 hanyalah hoax yang sengaja disebarkan demi menuduh para tokoh utama Ba’Alawi sebagai pemalsu nasab.
Faktanya, haplogroup J1 dan J2 juga ditemukan di berbagai kelompok-kelompok lain yang tidak ada hubungannya dengan Timur tengah atau Nabi Muhammad SAW, , termasuk juga di kelompok Yahudi dengan pertemuan common ancestor yang sangat jauh sekali dan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Ini menunjukkan tidak validnya data yang digunakan untuk tes DNA tersebut.
Konon dalam Family Tree DNA kode Haplogroup untuk Nabi Muhammad SAW adalah J1-P58-L147.1-L858-L859. Namun faktanya Family Tree DNA sama sekali tidak pernah memastikan bahwa itu adalah Haplogroup Nabi Muhammad SAW. Klaim itu hanyalah propaganda bisnis menggunakan beberapa individu di Timur Tengah yang mengaku dan dianggap Bani Hasyim. Kerajaan Jordan sendiri tidak pernah mengakui atau memberikan statement bahwa sample-sample tersebut adalah anggota keluarga kerajaan Jordan. Itu semuanya hanyalah hoax yang tersebar di medsos.
Ketujuh
Opini yang diklaim sebagai hasil penelitian ilmiah bukanlah sesuatu yang perlu dihebohkan, tapi daur ulang narasi yang pernah dihembuskan di beberapa negara Arab. Beberapa tahun silam Murad Syukri dan Al-Syibami melontarkan narasi pengguguran nasab komunitas Ba’Alawi, namun lenyap setelah dibantah dengan dokumen-dokumen yang telah divalidasi oleh Naqabah Al-Asyraf di Mekkah dan lainnya.
Kedelapan
Soal panggilan habib, “peneliti” dan para pendukungnya tak dilarang untuk menyebut Habib Husain Luar Batang dan Habib Lutfi bin Yahya dengan Mbah Husain Luar Batang dan Pak Lutfi bin Yahya. Kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya, dan kehinaannya tidak ditentukan oleh vonis terputus atau tersambung nasabnya. Habib bagi yang nyata bermanfaat untuk masyarakat adalah gelar kehormatan, dan bagi yang bikin onar dan congkak hanyalah panggilan, bahkan layak diadili bila melakukan tindakan melanggar hukum negara.
Kesembilan
Kemarahan sang “peneliti” terhadap tingkah laku beberapa habib sangat bisa dipahami. Banyak alawiyin yang jengah, bahkan mengungkapkan kecaman dalam tulisan dan konten video. Tapi mestinya itu tak patut dijadikan motivasi dan latar belakang pernyataan serta penyimpulan yang mencederai keadilan dan objektivitas.
Terlepas dari poin-poin di atas, setiap orang boleh mengklaim sebagai anak keturunan Nabi SAW bila sesuai dengan kaidah ilmu nasab yang disepakati. Setiap orang juga berhak menafikan itu tanpa menuduhnya sebagai pemalsu dan ujaran fitnah lainnya. Setiap manusia wajib dihormati. Penghormatan yang rasional adalah perlakuan secara proporsional sesuai standar etika dan logika.Tak perlu memuja, tak perlu mencerca.
Damailah Indonesia kita.
ML08052023